“Manusia menciptakan sejarah, tetapi sejarah yang diciptakannya itu memaksa manusia untuk berlari mengikuti sejarah yang diciptakannya tanpa mampu merubahnya” sebuah kutipan yang saya ambil dari ucapan Marx tentang sejarah manusia akan membuka tulisan singkat mengenai sebuah generasi yang tersingkirkan, generasi yang terpuruk dalam sebuah imagi kebangkitan.
Baru baru ini kita sebagai suatu bangsa memperingati sebuah moment agung penentu arah sejarah bangsa, kebangkitan nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei sebagai prasasti kebangkitan sebuah bangsa, Bangsa Indonesia. Dalam momen peringatan sebuah sejarah ini kita menyaksikan bersama bagaimana upaya pemerintah untuk mendongkrak sebuah semangat, asa, harapan dan cita cita bangsa yang kian terseret arus keterpurukan. Sebuah acara dengan penuh gebyar dan kemeriahan, senyum dan kebahagiaan (semu?),
didukung oleh ribuan partisipan dari seluruh pelosok negeri yang diharapkan mewakili seluruh elemen masyarakat dalam upaya mengimagikan sebuah semangat untuk bangkit. Tarian, lagu, puisi dan doa sebagai pralambang harapan, defile kekuatan yang terwakili dari olah gerak beladiri tradisional yang dilakukan oleh pengusung acara sebagai pralambang sebuah upaya dan ditambah dengan kata kata dan janji serta ajakan penyemangat lengkaplah sudah semua pralambang yang dibutuhkan dalam upaya mewujudkan kebangkitan.
Sebuah penggiringan pada kebenaran bersama, tetapi apalah arti dari itu semua? Jika diperbolehkan meminjam istilah Kierkegard, ritual dan seremonia kebangkitan yang diadakan malam 20 Mei 2008 adalah sebuah kondisi akan bangkit dan apa artinya akan bangkit jika kita tidak benar benar bangkit dengan bergerak secara nyata keseluruhan individu dan eksponen bangsa untuk benar benar bangkit, karena keputusan untuk bangkit sendiri berasal dari individu dan mengajak bangkit tidak dapat kita artikan sebagai bangkit itu sendiri.
Seratus tahun yang lalu pemuda Indonesia berkumpul bersama mematahkan dan mendobrak belenggu belenggu, tembok tembok pemisah dengan secara nyata mengorganisasikan diri mereka. Dan cobalah sekarang kita tengok sebentar dunia diluar sana, atau lebih mudahnya disini di Bali yang sama sama kita cintai atau dimana saja di Indonesia, apa yang terjadi dengan remaja kita yang merupakan bagian dari kelompok muda di negeri ini.
Di sebuah daerah pesisir pantai yang indah di utara Bali, dimana kemiskinan seakan menjadi bagian dalam kehidupan manusia disana, remaja memilih untuk “menikah” dengan bule yang jauh lebih tua dengan harapan untuk keluar dari kemiskinan dan menjadi penyelamat keluarga, sebuah pengorbanan untuk ditunaikan.
Tengoklah disebuah daerah yang dulu sangat terkenal dengan teras teras sawahnya yang indah, centre of excellence dari seni di Bali, kini tak ada lagi sawah dengan subak dan teras terasnya yang indah, digantikan dengan congkaknya villa dan hotel demi sebuah asa dan citra yang didapatkan dari sebuah kesemuan ecotourism. Petani tak lagi menanam padi demi sebuah kesemuan yang lain, jual sawah dan tanah untuk mendirikan rumah rumah mewah dengan pagar yang tinggi dan mobil mobil keluaran terbaru sementara itu remaja disana dibiarkan sendiri tertelan hedonisme yang tumbuh subur dan sepertinya sengaja diciptakan dalam upaya menunjang kesemuan kesemuan dan kepalsuan majunya ekonomi akibat pariwisata.
Mereka lari pada mimpi mimpi dan mengejar kebahagian instant, dari balik tingginya tembok tembok itu kemudian munculah generasi yang candu pada kebahagiaan instant dan melakukan apa saja untuk mewujudkannya.
Sebuah data yang cukup mengejutkan saya dapatkan dari hasil penjangkauan yang dilakukan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pengurangan dampak buruk narkoba suntik di wilayah itu, dibalik tembok tembok dan gerbang gerbang tinggi itu banyak dari mereka tak dapat lepas dari jeratan narkoba suntik dan sekali lagi tembok tembok kemunafikan dari sebuah sistem menghalangi masuknya intervensi perubahan.
Coba tengok sebuah wilayah di pusat pariwisata di Bali, setiap malamnya didepan sebuah gerai, ikon pencitraan semu dengan lambang lingkaran merah dan satu huruf ditengahnya belasan remaja berkumpul hingga larut ditemani berbotol botol bir berusaha lari dari kehidupan dan kemunafikan disekitar mereka yang tak mampu mereka lawan.
Sebait kata dari catatan Soe Hok Gie terngiang kembali “ kita, generasi kita adalah generasi yang ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kitalah yang akan menjadi hakim bagi generasi tua yang korup………….kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia”
Tetapi coba tengok apa yang terjadi, rasakan kegelisahan yang ada di pemuda Indonesia segala kebuntuan yang mereka coba lawan tapi tak mampu, kepalsuan yang ingin mereka sucikan, semangat yang menggebu yang akhirnya mati diaborsi oleh realita, generasi kita adalah generasi yang terpuruk, generasi yang lari dari kenyataan, generasi yang dijadikan tumbal dari pembangunan, coba tengok
kembali disekitar kita. Generasi tua enggan memberikan kesempatan pada yang lebih muda untuk bersuara dan berkarya. ]
Lebih baik membungkam suara suara perubahan, junjung tinggi status quo dan segala ketidak jelasan yang ada saat ini. Biarlah biar generasi muda, remaja kita, pemuda kita mabuk dalam hedonisme dan pencitraan semu yang tiap saat dan waktu dicekokkan dalam mulut dan kepala mereka lewat iklan, sinetron sinetron dan produk produk terkini, biarkan saja mereka dalam kegelapan dan kebutaan yang diciptakan oleh silaunya kehidupan dan kenyamanan hidup serta kenikmatan semu.
Tak perlu lagi saya berpanjang panjang menceritakan keterpurukan yang dialami pemuda Indonesia, karena mungkin kita termasuk diantara mereka yang terpuruk.
Teringat kembali sepotong cerita dari drama Rama dan Sinta ketika mereka mengarungi hutan raya dan bertemu raksasa Wirada yang kemudian merebut Sinta, Rama menangis menyesali penderitaan yang ditemui dan akan menyerah tetapi kemudian Lesmana mengingatkan bahwa ini adalah bagian dari sebuah perjalanan panjang dimana di akhir cerita nanti ada musuh yang lebih besar lagi yang harus dihadapi oleh Rama.
Pemuda Indonesia saat ini ada pada kondisi ketika Rama bertemu dengan Wirada, Pemuda Indonesia membutuhkan sosok Lesmana untuk mengajak mereka bangkit dan benar benar bangkit dari keterpurukan mental, menyadarkan mereka pada realita dan tantangan, melihat kembali pada kenyataan.
Pemuda Indonesia membutuhkan mereka yang dekat dengan kehidupan dan bersama merasai kehidupan dan perlu selalu diingat bahwa perubahan dan kelanggengan melekat dalam realitas, karena kelanggengan tanpa perubahan adalah sebuah perjalanan dari ketiadaan ke ketiadaan
surat cinta buat kamuuuuuu...
-
Kepada kamu,
Dengan penuh kebencian.
Aku benci jatuh cinta. Aku benci merasa senang bertemu lagi dengan kamu,
tersenyum malu-malu, dan menebak-nebak, selal...
13 tahun yang lalu
0 komentar:
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63
Posting Komentar