Tampilkan postingan dengan label berita sepanjang masa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berita sepanjang masa. Tampilkan semua postingan

Antiklimaks Antasari

Minggu, 14 Februari 2010

Setelah menjalani berbulan-bulan pengadilan penuh drama, majelis hakim menyimpulkan Antasari terbukti menganjurkan membunuh Nasruddin Zulkarnaen, bos PT Putra Rajawali Banjaran. 

Usai vonis bagi dirinya itu, Antasari menoleh ke arah pengunjung. Sebagian besar mereka yang duduk di barisan depan ruang sidang itu adalah kerabatnya. Dia melihat ke arah isterinya, Ida Laksmiwati.

Ida duduk berdampingan dengan dua putrinya, Andita Diacnotora Antasariputri dan Ajeng Oktariefka Antasariputri. Sejak perkara ini digelar awal Oktober 2009, baru kali ini dua anaknya itu datang ke sidang. Tak kuasa menahan haru, Andita dan Ajeng, meloncat pagar pembatas pengunjung sidang. Dua dara itu memeluk Antasari.

Di bangku pengunjung, Asnawati Azhar, adik kandung Antasari menjerit histeris. “Kakakku bukan penjahat.” Dia dipapah ke luar melalui pintu samping kiri ruang sidang. “Aku tahu, dia tak bersalah.” Asnawati yang dipapah kerabatnya ke luar gedung terus berteriak-teriak.

Di sidang itu hadir juga keluarga Nasrudin, sang korban pembunuhan. Mereka juga tak puas dengan vonis hakim.  “Saya sangat kecewa,” kata Hardi, putra sulung Nasrudin. Dia tak terima, pembunuh ayahnya hanya dihukum 18 tahun penjara. Air matanya meleleh. Dia terisak-isak, lalu histeris dan pingsan.

***

Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu sudah ramai sejak pagi. Sejumlah wartawan televisi memasang peralatannya di tiap sudut ruang sidang utama.  Kerabat Antasari ramai datang memenuhi ruang sidang utama itu.
Adapun keluarga Nasrudin memilih di luar ruang sidang. Ratusan polisi pun datang berjaga-jaga, ada juga Brimob, dilengkapi tameng anti huru-hara dan tiga kendaraan taktis barracuda.

Di luar gedung pengadilan, puluhan pengunjuk rasa pendukung Antasari beraksi. Mereka berteriak minta Antasari dibebaskan. Ada spanduk yang isinya mendukung Antasari, seperti “Tuntutan Terhadap Antasari Azhar Merupakan Konspirasi Para Koruptor”. Mereka mengaku dari ormas Jamper (Jaringan Pemuda Penggerak), dan Ampuh (Aliansi Masyarakat Peduli Hukum). Jalanan macet.

Tiga terdakwa lain dalam kasus pembunuhan Nasrudin itu, Komisaris Besar Wiliardi Wizar, dan pengusaha Sigid Haryo Wibisono serta Jerry Hermawan Lo juga menjalani sidang vonis. Mereka bertiga diadili di tiga ruang sidang lain, di belakang ruang sidang utama.

Tepat pukul 10.00 WIB, empat terdakwa datang. Berbaju batik coklat, Antasari langsung masuk ke ruang sidang utama. Dia didampingi tim penasehat hukum Ari Yusuf Amir. Bersama Ari, ada pengacara kondang Hotma Sitompul, Juniver Girsang, Maqdir Ismail, dan M Assegaf.

Sidang dipimpin ketua majelis hakim Herry Swantoro. Herry punya reputasi bagus. Dia adalah hakim kasus pembunuhan Hakim Agung Syaifudin Kartasasmita di Pengadilan Jakarta Pusat. Terdakwanya, Tommy Soeharto, dihukum 15 tahun penjara.

Adapun Jaksa Penuntut Umum Cirrus Sinaga reputasinya tak kurang garang. Dialah jaksa yang mengirim Policarpus Budihari Priyanto ke penjara karena kasus pembunuhan aktivis Hak Azasi Manusia, Munir. Cirrus juga yang menuntut mantan Deputi V Badan Intelijen Negara, Muchdi Pr, dalam kasus yang sama. Ketika Muchdi divonis bebas, Cirrus menyiapkan amunisi Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

Semua penegak hukum datang lengkap. Sidang dimulai pukul 10.30 WIB.

Dari uraian majelis hakim, kasus ini berawal dari perkara dalam kamar 803 Hotel Mahakam, Jakarta Selatan, pada Mei 2008. Waktu itu, Antasari berduaan dengan Rani, seorang caddy golf. Rupanya, Nasrudin sengaja menjebak Antasari. Dia, melalui telepon seluler Rani yang terus dibiarkan menyala, merekam kegiatan Antasari dan Rani di kamar itu. Lalu Nasrudin berbuat seolah-olah menangkap basah keduanya.

Sejak itulah, Antasari mulai merasa diteror Nasrudin. Menurut tuduhan jaksa, Antasari terganggu dengan teror ini sehingga dia pernah mengeluh ke Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, soal teror yang dialaminya. Selain itu, dia juga minta Sigid Haryo –temannya—mengamankan kasusnya itu.

Sigid mempertemukan Antasari dengan Komisaris Besar Wiliardi Wizar, dan menceritakan masalah ini. Antasari disebut jaksa meminta bantuan Wili. Setelah itu, Wili menghubungi temannya Jerry mencarikan tenaga bantuan. Menurut tuntutan jaksa, Jerry adalah penghubung Wili dengan Eduardus Ndopo Mbete alias Edo.

Selanjutnya Edo mendapat order dari Wili, yaitu ‘tugas negara’ untuk menghabisi Nasrudin. Biayanya Rp 500 juta. Bersama lima temannya, Heri Santosa, Daniel Daen Sabon, Henrikus Kia Walen, Fransiskus Tadon Keran, dan Sei, mereka menembak mati Nasruddin di dekat mal Metropolis Town Square, Tangerang, pada Sabtu 14 Maret 2009.

***

Perdebatan sengit dalam kasus ini ada pada simpul keterlibatan Antasari. Pengacara Antasari, Ari Yusuf Amir, menyebutkan dalam rangkaian dakwaan yang disusun jaksa tak ditemukan satu pun kata perintah membunuh dari Antasari.

Menurut jaksa, salah satu pengait Antasari dalam pembunuhan ini adalah penyerahan amplop coklat berisi foto Nasruddin dan Rani, yang diserahkan  Antasari untuk Wili. “Itu pun tidak ada saksinya, hanya pengakuan dari Sigid yang sedang membela dirinya sendiri,” kata Ari. Sedangkan Wili menyangkalnya. Bahkan dia bilang penyidiklah yang mengarahkan keterangannya untuk menjerat Antasari.

Kuasa hukum juga memandang ganjil tuduhan jaksa yang detail mengupas urusan seks di kamar 803 Hotel Mahakam ketimbang pokok masalahnya, yaitu kasus pembunuhan berencana. Mereka juga menyoal, rekaman yang dilakukan Sigid saat bertemu Antasari. Begitu juga Nasruddin yang merekam pertemuan isterinya, Rani dan Antasari.

Di luar itu, ada pula pengakuan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji bahwa ada dua tim dibentuk Polri dalam mengusut kasus Antasari. Meski tak jelas tugasnya, kuasa hukum dan juga Antasari sendiri menduga, ada konspirasi menjebloskan Antasari ke dalam penjara.

Koordinator Jaksa Penuntut Umum Cirrus Sinaga, menyangkal tuduhan itu. Soal pertemuan di kamar 803 dan beberapa rekaman pembicaraan, menurut Cirrus, adalah mata rantai kasus. Justru, dari situ terlihat peran Antasari dan motif pembunuhan itu, dan bukti adanya kerjasama. Dia yakin dengan tuduhannya, karena itu jaksa menuntut hukuman mati. “Penegak hukum memang harus dihukum berat,” kata Cirrus.

Agaknya, majelis hakim percaya rangkaian peristiwa yang dibangun jaksa. Majelis hakim yakin Antasari bersalah dan memenuhi unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan berencana.

Dalam putusannya, majelis menilai ada hubungan antara Antasari, Sigid Haryo Wibisono, dan Wiliardi Wizar. “Yaitu dalam pertemuan di rumah Sigid di Jalan Pati Unus, Jakarta Selatan, di sini Antasari bercerita tentang teror yang dialaminya,” kata Herry dalam putusannya.

Majelis juga percaya kebenaran penyerahan amplop coklat serta duit Rp 500 juta itu. "Sehingga terdapat rangkaian perbuatan dan kerja sama antara terdakwa, Sigid Haryo Wibisono, dan Wiliardi Wizar," kata hakim Prasetya Ibnu Asmara. Majelis yakin Antasari terbukti menganjurkan pembunuhan.

Tapi soal hukuman, majelis memutuskan Antasari diganjar hukuman 18 tahun penjara. Dalam persidangan terpisah, Sigid dihukum 15 tahun penjara, Wili diganjar 12 tahun penjara, dan Jerry menjalani kurungan 5 tahun.

Jaksa Cirrus menyatakan putusan majelis sudah tepat dan benar. “Majelis hakim yakin mereka bersalah, dan menjatuhkan pidana,” katanya. Namun para terdakwa menyatakan vonis itu tak mencerminkan rasa keadilan, karena itu mereka semuanya menyatakan banding.

***

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.30 WIB. Vonis sudah usai dibacakan. Pengunjung bubar.  Sebuah mobil tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan perlahan bergerak ke markas Polda Metro Jaya.
Seperti sebuah antikimaks, Antasari, bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu kembali ke kamar A-10 di lantai satu tahanan narkoba di Polda Metro Jaya. Dia mendekam di sana sejak Mei tahun lalu.

Esok harinya Juniver Girsang, pengacara Antasari itu, menyatakan berkas banding sudah diteken pada Jumat, 12 Februari 2010. Tapi, ada pula serangan lain: Antasari akan menuntut Rani Juliani, istri siri Nasrudin karena menjebak pejabat negara. “Kalau berkaca dari vonis hakim, maka Rani bisa kami tuntut,” ujar Girsang. 

***

menurut kalian .....kasus ini bagaimana??


READ MORE - Antiklimaks Antasari
| More

Tahun 2010 : 66 Juta Penduduk Meninggal Dunia

Kamis, 04 Februari 2010
The Dance of Death (1493) by Michael Wolgemut, from the Liber 
chronicarum by Hartmann Schedel.
The Dance of Death (1493) by Michael Wolgemut, from the Liber chronicarum by Hartmann Schedel.
66 Juta Jiwa akan Meninggal Dunia pada tahun 2010!! Informasi ini bukanlah hoax. Info ini bukanlah  seperti isu kiamat 2012, isu gempa bumi 8.9 SR, isu peperangan, isu hujan meteor, tsunami atau sejenisnya. Namun, angka 66 juta ini diperoleh melalui perhitungan statistik demografi.
Dari sekian banyak kejadian dalam kehidupan, mungkin kematian adalah hal yang paling kita takuti. Perpisahan, kesedihan, tangisan, ketidakpastian (amal-dosa) menjadi triger ketakutan kita terhadap kematian. Sehingga, dengan berbagai cara, manusia berusaha ‘berlari’ menjauhi kematian. Sayangnya, sekeras apapun daya upaya, sekencang apapun berlari menjauh, kematian akan tetap menjangkau siapa pun yang memiliki jiwa dan raga. Berapa banyakkah orang mati dalam sehari? Setahun?
Berdasarkan data WHO yang dirilis di wikipedia, tahun 2005 terdapat 57,03 juta orang meninggal di seluruh dunia.  Ini berarti rata-rata 156.000 orang yang meninggal tiap harinya. Sebagian besar meninggal karena faktor usia yang ditriger oleh penyakit serangan jantung, infeksi, kanker dan stroke.  Sekitar 35.000-50.000 diantaranya karena faktor penyakit, kecelakaan dan bencana. Pada tahun 2005, jumlah penduduk dunia sekitar 6.4 miliar jiwa. Untuk menghitung jumlah angka kematian pada tahun 2009, saya akan menggunakan data statistik jumlah penduduk dunia, usia rata-rata kehidupan, statistik kematian karena faktor non-usia, serta perkiraan komposisi demografi penduduk dunia.
Dengan penduduk sekitar 6.79 miliar jiwa per Oktober 2009, sekurang-kurangnya dalam 1 hari ada 150.000 orang meninggal dunia, yang mana sekitar 2/3 meninggal karena usia lanjut. Sisanya karena penyakit (jantung, rokok, kanker, hiv, tumor), kecelakaan, atau bencana alam. Dengan menggunakan usia rata-rata harapan hidup penduduk dunia sebesar 67.2 tahun, maka kita dapat menghitung angka statistik kematian yang terjadi pada tahun 2009, lengkap dengan statistik kematian bulanan, harian, jam-an, menitan hingga detik.
Tabel Kalkulasi Statistik Kematian Penduduk Dunia Per waktu
Jumlah Penduduk Dunia (Wikipedia)
6,920,000,000
jiwa per Okt 2009
Komposisi Tua Muda
1 : 2
1 Tua : 2 Muda
Jumlah Penduduk
3,460,000,000
jiwa
Usia Rata-Rata Hidup
67.2
tahun
Angka Kematian Faktor Non-Usia
40,000
jiwa per hari
Angka Kematian Faktor Non-Usia
14,600,000
jiwa per tahun



Angka Kematian Faktor Usia
51,488,095
jiwa per tahun
Angka Kematian Total / tahun
66,088,095
jiwa per tahun
Angka Kematian Total / hari
181,063
jiwa per hari
Angka Kematian Total / jam
7,544
jiwa per jam
Angka Kematian Total / menit
126
jiwa per menit
Angka Kematian Total / detik
2
jiwa per detik
Dengan menggunakan angka statistik yang saya himpun dari beberapa sumber di wikipedia dan asumsi statistik, maka dapat diperkirakan angka kematian pada tahun 2010 ini mencapai 66 juta jiwa. Jumlah ini saya perkirakan merupakan angka ideal minimum. Artinya, kemungkinan besar angka kematian pada tahun 2010 dapat melebihi angka ini, terkait dengan perubahan iklim yang cukup mencolok pada tahun 2010 seperti badai El-Nino.
We can\
A starving Sudanese stalked by a vulture, by Kevin Carter (1994)
Berbagai fenomena alam seperti banjir, angin topan, turut menyumbang bencana kelaparan seperti gagal panen. Kemiskinan ditengah krisis finansial akan mempengaruhi angka harapan hidup, yang mana masih banyak warga di belahan dunia mengalami gizi buruk seperti di Afrika, beberapa wilayah India, termasuk juga beberapa daerah di Indonesia. Peperangan setidaknya berkontribusi  0.3% terhadap total penyebab kematian manusia.
Tiap detik rata-rata 2 orang meninggal dunia. Dalam 1 bulan lebih dari 5 juta orang menghempuskan nafas, meninggalkan dunia ini.
Berdasarkan Laporan PBB Maret 2008, total angka kematian yang terjadi pada tahun 2006 sekitar 62 juta jiwa (wikipedia). Dari 62 juta jiwa, 58% atau 36 juta jiwa meninggal disebabkan oleh kelaparan, penyakit dan kekurangan gizi. (mari berhemat!!) Berdasarkan statistik tahun 2006 dan perhitungan tahun 2010 ini, maka dari 66 juta jiwa yang akan meninggal pada tahun 2010, setidaknya 2 juta berasal dari warga Indonesia. Ini berarti, angka kematian rata-rata Indonesia sekitar 170 ribu jiwa per bulan. Wow…
Belajar dari statistik ini, sebenarnya hidup kita hanyalah sementara di dunia ini. Kematian bisa kapan saja menjemput kita. Untuk membuat tulisan ini saja, setidaknya belasan ribu orang sudah tewas (butuh sekitar 1.5 jam buat tulisan ini). Angka ini akan terus bertambah seiring dengan gerak jarum jam, seirama dengan detak jantung kita. Jika dibandingkan, maka angka kematian akibat bencana alam seperti di Tasik maupun Sumatera Barat tidaklah sebanding dengan kecepatan rata-rata manusia di bumi meninggal dunia. Tentu angka 66 juta terasa jumlah yang besar sekali. Angka besar ini tidak berarti apa-apa, jika kita tidak memetik pelajaran dari setiap fenomena ataupun statistik dunia.

Dibawah Naungan Kematian

Motivator Gede Prama dalam artikelnya Lukisan Indah Kebijaksanaan menyebutkan bahwa bagi orang yang  merenungkan kematian dalam-dalam, maka ia akan menjadi lebih tenang, santun, baik, rendah hati. Bukankah ketenangan dan kebajikan adalah teman paling berguna dalam kematian? Di samping itu kematian juga berubah wajah menjadi guru simbolik yang membimbing menapaki tangga-tangga kemuliaan.
Lebih lanjut, Gede Prama katakan bahwa bila kita amati secara jujur dan mendalam, maka setiap hari kita mengalami ‘kematian’. Seusai makan pagi, kita berpisah dengan rasa enak (matinya rasa enak di mulut). Berangkat ke kantor, manusia berpisah dengan rasa nyaman di rumah (matinya rasa nyaman tinggal di rumah). Dalam wajahnya yang mendasar,  kematian menakutkan karena  adanya perpisahan. Bila terbiasa dengan perpisahan sehari-hari, maka perpisahan melalui kematian pun akan menjadi sesuatu yang biasa.
Dan bagi mereka yang lebih dalam lagi, maka ‘perenungan’ (bukan perenungan konvensional) kematian akan membuahkan kedamaian berbaur kebijaksanaan. Memandang kematian dengan pandangan ‘tercerahkan’ akan membuat orang berterima kasih pada kematian. Ia yang menyelamai ‘kematian’, ia pula yang akan memahami kehidupan. Dengan pemahaman arti kehidupan, maka nuraninya terdorong untuk ‘mendermakan’ jiwa-raga untuk kebajikan (menjalan perintah baik), dan apa pula yang tidak semestinya dilakukan (menjauhi larangan yang buruk).
Kehidupan mirip dengan gelombang di laut. Ada gelombang tinggi (baca: jabatan tinggi, kekayaan menggunung, dan nama terkenal), ada gelombang rendah (orang-orang biasa dan kebanyakan). Namun, keduanya akan berakhir ketika menyentuh bibir pantai. Kematian persis seperti gelombang yang menyentuh bibir pantai. Perwujudan luarnya memang menghilang. Tapi, bukan berarti ia menghilang. Ia kembali ke hakikatnya sebagai air laut. Kesedihan, perpisahan, ketidakpastian, serta atribut-atribut buruk yang melekat pada kematian muncul karena manusia amat terfokus pada bentuk luar gelombang (baca: tubuh serta badan). Namun, belajar dari gelombang yang sudah menyentuh pantai, kematian hanya pergerakan kembali ke bentuk asal. (Gede Prama)
Siap tidak siap, kematian pasti menjemput kita. Apakah kita telah menyiapkan kematian kita dengan baik? Apakah kita akan masuk dalam golongan 66 juta tersebut? Hanya Sang Maha Kuasa yang tahu
READ MORE - Tahun 2010 : 66 Juta Penduduk Meninggal Dunia
| More

pendemo anarki

Seekor Kerbau Membajak Sawah
“Intermezzo”
Entah kebetulan, entah kecoplosan, entah suratan takdir, seorang staf presiden SBY di Istana Kepresidenan Cipanas menyatakan bahwa Presiden SBY urung diwawancarai oleh wartawan stasiun televisi RCTI pada 1/2/2010 pagi karena tak menemukan latar belakang yang cocok, yakni sawah. Alasan ini menjadi istimewa, tatkala 28 Januari 2010 silam, aksi unjuk rasa 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II ‘dihadiri’ makhluk yang selama ini identik dengan sawah yakni kerbau Si BuYa [1].
“Wawancara dengan RCTI gagal karena Presiden ingin mendapatkan pemandangan sawah-sawah yang menjadi latar belakang wawancaranya. Akan tetapi, tidak dapat yang cocok, jadi ditunda,”
–ujar seorang staf, yang keceplosan dan didengar beberapa wartawan di Istana Kepresidenan Cipanas- -[2]
Malu dengan fakta yang disampaikan salah satu staf presiden yang kecoplosan,  Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha membantah. Demi menjaga image, Pak Jubir memberi alasan berbeda dengan staf presiden. Pak Jubir menyampaikan alasan penundaan wawancara karena waktunya tidak tepat, bukan tempat yang tidak tepat.  Kontradiksi pernyataan Pak Jubir semakin jauh dari realitas dari fakta bahwa pak SBY harus  berpindah-pindah mencari 3 lokasi ’syuting’ yang tepat. Karena tidak ada sawah, akhirnya diputuskan ’syuting’ dilakukan berlatar taman / hutan lindung.  Wawancara RCTI akhirnya berhasil dilakukan pada  hari Rabu, 3 Feb 2010 bertempat di taman Istana Kepresidenan. Tema dari wawancara menyangkut swasembada pangan.
“Presiden mencari sawah yang padinya hijau royo-royo, akan tetapi sulit. Karena baru musim tanam. Jadi, diubah hari Rabu ini. Sebagai gantinya, lokasi yang dituju adalah sekitar taman dan hutan lindung di Istana Kepresidenan,”
–ujar seorang staf presiden– [3]
Demonstransi dan Simbolik Kerbau
Demonstrasi 28 Januari 2010 silam terbilang cukup ‘istimewa’. Kehadiran kerbau SiBuYa dalam demonstrasi 100 hari kerja pemerintah SBY menjadi polemik.  Demonstran yang membawa kerbau dengan tujuan menyindir SBY yang selama ini terkenal lamban menuai aksi curhat dari pak Presiden. Curhat kesekian kali SBY ini disampaikan pada sambutan pertemuan menteri dan gubernur se-Indonesia di Istana Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
“Di sana ada yang teriak-teriak SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling. Ada juga demo yang bawa kerbau. Ada gambar SBY. Dibilang, SBY malas, badannya besar kayak kerbau. Apakah itu unjuk rasa? Itu nanti kita bahas,”
– Presiden SBY –[4]
Ada beberapa hal yang saya setuju dengan apa yang disampaikan presiden SBY sebagai tanggapan aksi demonstrasi 28 Januari 2010.Unjuk rasa merupakan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Unjuk rasa semestinya menjadi wahana partisipasi dan kreativitas setiap warga negara dalam membangun kehidupan negara yang berdemokrasi. Sebagai wahana terakhir masyrakat untuk memberi masukan kepada pemerintah, selain melalui ajang rapat umum, diskusi atau pawai.
Kebebasan dalam unjuk rasa ini hendaknya bertanggungjawab, menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, dilaksanakan secara damai dengan tetap menjaga keutuhan bangsa. Dan dalam hal ini, pemerintah atau objek yang menjadi sasaran demonstrasi hendaknya merespons setiap unjuk rasa dengan bijak dan merakyat. Tanpa kritik, maka akan memberi ruang bagi pemerintah menjadi otoriterian.
SBYDisini, demonstran yang meneriakin seorang pejabat negara dengan kata maling tanpa ada bukti yang jelas, tentu merupakan unjuk rasa yang tidak bertanggungjawab. Demonstran tersebut telah melangkah terlalu jauh menvonis seseorang. Ini adalah perilaku main hakim sendiri. Lebih jauh, tuduhan maling tanpa bukti merupakan fitnah. Dan tentunya, demonstrasi seperti ini jauh dari etika kepantasan dan kesantunan,  terlebih dalam kultur timur, dengan ideologi Pancasila sebagai falsafah hidup negara.
Aksi demonstrasi yang tidak bertanggungjawab ini sesungguhnya dapat menurunkan nilai positif dari kemerdekaan atau kebebasan berpendapat. Perilaku demonstrasi menjadi pelik tatkala pemerintah hampir tidak pernah mendengar aspirasi para demonstran yang berdemo dengan santun. Hal-hal substansial dalam demo yang santun kurang ditangkapi. Dan parahnya media massa seperti TV justru menayangkan aksi dorong-mendorong antara polisi dan demonstran, bukan isi orasi dari demonstran.
Lebih jauh daripada itu, pesan-pesan demonstran seperti reformasi birokrasi, penangangan pasar bebas ASEAN-China, pembentukan UU pembuktian terbalik, pembangunan infrastruktur tepat berjalan mandeg bahkan tidak masuk dalam prioritas program.  Sebagian  demonstran pada hakikatnya ingin mempertanyakan janji-janji yang disampaikan capres SBY-Boediono kepada rakyat Indonesia.  Janji bahwa pro-rakyat, mengatur anggaran negara untuk kepentingan rakyat dan efisiensi hanyalah janji-janji angin surga.
Bukannya menghemat anggaran untuk dialihkan kepada program lebih urgen, pemerintah justru mengadakan mobil dinas mewah Rp 1.2 miliar per unit (total sekitar 100 miliar) , renovasi rumah anggota DPR RI Rp 700 juta (total Rp 392 miliar), pengadaan laptop super mewah anggota dewan Rp 16 juta per unit (total Rp 9 miliar), hingga pembuatan pagar istana super mahal seharga Rp22 miliar dan rencana pembelian pesawat  Boeing VIP seharga Rp 700 miliar. Belum lagi ambisi menaikan gaji para pejabat negara.
Dari sinilah, mestinya presiden SBY menanggapi hal substansi asprirasi demonstran, baru menanggapi demonstran yang tidak sopan dalam satu paket.  Bila presiden hanya begitu serius menanggapi kebo “SiBuYa” yang secara eksplisit menyinggung bapak presiden, maka publik akan bertanya mengapa pak Presiden tidak menegur/sanksi kepada sikap/perbuatan Ruhut Sitompul?
Akhir kata, saya tidak ingin jika kepala negara kita, para pejabat kita yang tidak terbukti secara hukum melakukan tindakan pidana, dihina-hina atau divonis sebagai seorang kriminal. Penghinaan atau penyebutan maling kepada pejabat negara tanpa bukti merupakan ucapan yang sama sekali tidak layak, tidak pantas dan jauh dari etika. Begitu juga demonstrasi tanpa tujuan, yang hanya melakukan aksi karena dibayar merupakan aksi yang menjijikan. Kita berharap, para demonstran benar-benar memperjuangankan aspirasinya secara murni demi sebuah kebenaran. Sementara, kita berharap pemerintah mau mendengar aspirasi rakyat melalui sarana demonstrasi, sebuah alat bagi rakyat untuk berbicara kepada ’sang raja’ demi perbaikan dan kemajuan bangsa.
Salam Nusantaraku,
ech-wan, 4 Februari 2010
Sumber:
[1] Detiknews, 28 Jan 2010
[2] Kompas, 2 Feb 2010
[3] Kompas, 2 Feb 2010
[4] Detiknews, 2 Feb 2010

sumber
READ MORE - pendemo anarki
| More

Orang Kecil, Berita Besar6

Sabtu, 16 Januari 2010
Hikayat Hukum Tiga Kakao
Minah adalah ironi dunia hukum kita: tumpul ke atas, tajam ke bawah.





“Hukum tak berpihak kepada yang lemah”, kata Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia, Todung Mulya Lubis, menilai penegakan hukum di Indonesia sepanjang 2009.

Contoh kasusnya adalah Nenek Minah. Proses hukum di negeri ini begitu lancar dan tajam, tatkala orang seperti Minah tersandung masalah. Padahal, perkara Minah hanyalah tiga butir kakao yang dipetiknya di kebun milik PT. Rumpun Sari Antam.

Berumur 65 tahun, perempuan buta huruf ini bahkan tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Di Dusun Sidoharjo, Ajibarang, Banyumas, Jawa Timur, Minah hidup bersama suaminya, Sanrudi. Dalam rumahnya hanya ada meja makan dari kayu dan bangku panjang.
Sehari-hari mereka mengembala kambing. Buat mencukupi kebutuhan hidup, suami isteri ini juga menggarap lahan milik orang lain, dengan menanam 200 bibit kakao di desanya.

Suatu hari, pada 2 Agustus 2009, Minah memetik tiga buah kakao dari kebun Rumpun Sari Antam. Minah tak mengendap-ngendap saat memetik. Dia tak bermasud mencuri untuk menjualnya. “Hanya untuk saya jadikan bibit,” katanya. Dia mengupas dan mengambil bijinya.

Saat itulah, Sutarno, petugas patroli Rumpun muncul dan memergoki. Karena salah, Minah minta maaf pada Tarno sambil menangis. Tarno mengambil tiga kakao berikut karung plastik Minah, dan diserahkan ke perusahaan.

Rupanya, perusahaan itu melaporkan ke Kepolisian Sektor Ajibarang. Sejak 13 Oktober 2009, Minah diperiksa sebagai tersangka. Bolak-balik dipanggil polisi, Minah berat menanggung ongkos. Tak sebanding dengan tiga kakao yang cuma senilai dua ribu perak.

Aparat polisi di sana rada tak tega menangani kasus ini, sehingga pernah menawarkan jalan damai ke perusahaan itu. Namun Rumpun Sari tetap berkeinginan “memberi pelajaran untuk nenek tua itu”. Akhirnya perkara Minah bergulir hingga ke Pengadilan Negeri Purwokerto.

Tentu Minah tak mengerti bunyi pasal-pasal yang diberondong jaksa penuntut umum ke arahnya. Dia dituduh melanggar Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukuman pasal ini maksimal lima tahun penjara.

Awal November lalu, perkara ini pun mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Purwokerto. Tentulah Minah tak kuat membayar pengacara. Bahkan hadir ke pengadilan pun dia kerepotan. Dia harus berganti kenderaan umum sampai tiga kali. Ongkos transportnya Rp 100 ribu setiap kali akan sidang.

Perkara Minah adalah ironi bagi hukum di negeri ini. Minah yang hanya mengembat tiga butir kakao diseret ke pengadilan. Memang, secara hukum unsur pidananya tercukupi. Majelis hakim pun memvonis Minah bersalah, dan menghukumnya 1,5 bulan penjara.

Tapi, sang Hakim sampai berlinang airmatanya saat mengetuk palu. ”Tidak perlu masuk penjara,” ujar Muslich Bambang Luqmono, Ketua Majelis Hakim. ”Nggih, Pak Hakim, kulo ngertos (saya mengerti),” Minah menjawab sambil meremas jemarinya. Dia menunduk. 

”Dia petani yang tak akan kaya hanya dengan tiga kakao,” kata Bambang dengan suara terbata-bata. “Seharusnya diselesaikan di tingkat RT.”
Seperti kata Todung Mulya Lubis melanjutkan kutipan di lead tulisan ini, bahwa “Hukum kita begitu tumpul ketika ke atas, dan tajam jika ke bawah”, maka kasus Minah adalah ironi itu.
Dia meledak saat republik lagi heboh oleh ulah Anggodo Widjojo, yang mencoba merekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK.

Anggodo, yang rekaman pembicaraannya melibatkan banyak petinggi hukum di negeri ini, justru seperti bebas dari tangan hukum. Tapi Minah tidak.
READ MORE - Orang Kecil, Berita Besar6
| More

Orang Kecil, Berita Besar5

Demo Senyap Sejuta Facebookers
Usman Yasin menghimpun 1,4 juta pendukung Bibit-Chandra di facebook. Terbesar.



 Gerakan massa dalam jumlah besar di penghujung Oktober 2009 itu tak terlihat. Tak terdengar teriakan dan yel-yel memekakkan telinga laiknya aksi unjuk rasa di jalanan. Namun gaungnya terasa begitu dahsyat di dunia maya.

Bak bola salju, gerakan yang bermula pada 29 Oktober itu terus menggelinding, semakin lama semakin membesar. Bayangkan, setiap hari 100 ribu orang bergabung dalam aksi 1.000.000 facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Hanya dalam tempo sembilan hari, satu juta orang telah bergabung. Mereka berbondong-bondong memberikan suaranya kepada dua pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang ditahan polisi. Angka yang fenomenal dan bersejarah bagi gerakan lewat dunia maya di Indonesia.

Bahkan, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri merasa tekanan begitu besar. Ia merasa kawalahan menghadapi tekanan lewat dunia maya. "Hujatan dan opini sangat deras, baik lewat facebook atau tokoh masyarakat, kita harus punya strategi," ujarnya.

Dukungan jutaan orang ini tak sia-sia. Provokasi facebookers yang begitu hebat, plus dukungan dari media massa, aksi unjuk rasa mahasiswa, jaminan tokoh masyarakat dan terbongkarnya rekaman percakapan Anggodo di Mahkamah Konstitusi membuat nyali polisi surut. Bibit & Chandra akhirnya dibebaskan setelah hampir sebulan ditahan, pada 3 November 2009.

Siapa sesungguhnya aktor dibalik gerakan ini?

Dialah Usman Yasin, seorang pengajar di Universitas Muhammadiyah Bengkulu dan aktivis yang kerap melakukan advokasi atas berbagai kasus ketidakadilan lokal. Sebagai aktivis yang sudah mengenal dan menjelajahi secara mendalam dunia internet, dia benar-benar memanfaatkan keunggulan dunia maya.

"Kerja saya memang banyak di depan internet," ujar Usman kepada VIVAnews, 24 Desember 2009. Pria yang menempuh pendidikan doktor di IPB Bogor ini sudah bekerja dengan internet sejak menjadi Kepala Laboratorium Komputer di Malang pada 1991-1999. "Saya seorang blogger dan tahu bagaimana trik-trik menjaring minat pembaca di internet."

Dia mengatakan keahliannya di internet benar-benar dimanfaatkan dalam menjalankan tugas sebagai aktivis di Yayasan Lembak Bengkulu. Yayasan ini aktif membela masyarakat dan lingkungan lokal, seperti advokasi kawasan konservasi dan penggusuran di Bengkulu.
"Saya menggali data sebanyak mungkin lewat internet. Dari situ saya menemukan titik lemah, kejanggalan," ujarnya. Berdasarkan kejanggalan itu, dia membela orang-orang tergusur sehingga Pemda Bengkulu akhirnya bersedia mengganti lahan buat mereka.

Demikian halnya dengan pembelaan untuk Bibit & Chandra. Dia mengaku tidak kenal mereka. Tetapi mendadak tersentak untuk melawan kedzaliman atas penahanan dua pimpinan KPK pada 29 Oktober 2009. Dari hasil penelusuran profil dua orang ini di internet, Usman percaya. "Saya harus membela, sebab track record dua orang ini memang tidak salah," katanya.

Agar gerakan ini memikat perhatian banyak orang, Usman tak sekadar mem-publish kepada teman-teman facebooknya yang cuma 500 orang.

Namun, dia mencoba menerapkan trik-trik jitu di internet. Di antaranya adalah membuat judul gerakan yang agak bombastis, mengirimkan info gerakan ini ke grup-grup besar di internet, mengirimkan ke media massa disertai pesan pengantar, serta menggunakan jejaring facebook.  "Mengapa lewat facebook, karena murah, massal, dan fenomenal," kata Usman.

Hasilnya lumayan, tumbuh begitu cepat. Apalagi, setelah dimuat di berbagai media internet pada hari kedua, jumlahnya melonjak luar biasa. Hingga saat ini, pendukungnya sudah tembus 1,4 juta orang.

Kesuksesan Usman menjaring dukungan besar telah memicu dan ditiru para aktivis lainnya. Kebetulan selain gerakan yang dirintis Usman, saat itu di Facebook juga muncul grup "Bebaskan Bibit-Chandra. "Ini gerakan moral masyarakat sipil, ketidakadilan dipertontonkan," kata pendiri grup, Arif Hidayat.

Di luar gerakan mendukung Bibit & Chandra, kini banyak aksi-aksi  yang bermunculan di facebook dengan model gerakan serupa. "Misalnya saja, Gerakan Dukungan untuk Luna Maya."

Dampak lainnya, gara-gara gerakan tersebut, teman Usman di Facebook melesat dari 500 menjadi full, 5000 orang. Dia pun lebih intensif berdiskusi dengan para aktivis lainnya bagaimana membuat gerakan-gerakan melawan kedzaliman. Setiap hari rata-rata, dia meluangkan waktu 2-2,5 jam diskusi di forum.

Usman kini juga aktif di Gerakan Indonesia Bersih yang bertujuan membuat sistem hukum Indonesia menjadi lebih bersih. Sekarang fokus gerakan bergeser dari Bibit & Chandra kepada mengungkap skandal Bank Century. “Kasus ini lebih baik jika ditangani di ranah hukum," katanya.
READ MORE - Orang Kecil, Berita Besar5
| More

Orang Kecil, Berita Besar4

Makelar Tersandung Rekaman
Ada orang begitu gampang mengatur penegak hukum. Bekas tauke SDSB.



"Kita semua, Pak Ritonga, pokoknya didukung, jadi KPK nanti ditutup, ngerti ga?" Begitulah sekelumit petikan percakapan dari orang yang diduga Anggodo Widjojo kepada seorang wanita.
Rekaman percakapan yang menghebohkan itu diperdengarkan dalam ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Selasa, 3 November 2009. Anggodo Widjojo, adik buronan korupsi Anggoro Widjojo--Direktur Utama PT Masaro Radiokom, menjadi tokoh antagonis dalam upaya pemberantasan korupsi pada 2009.
Anggoro sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam perkara penyuapan dalam proyek Sistem Radio Komunikasi Terpadu di Departemen Kehutanan.

Mendengar rekaman itu, hampir semua orang terenyak. Dugaan adanya rekayasa dalam kasus dugaan suap yang menjerat dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah semakin kuat.
Karena berdasarkan rekaman yang diperdengarkan saat uji materi Undang-Undang KPK, terungkap kedekatan Anggodo dengan sejumlah pejabat di kepolisian dan kejaksaan.

Kecaman akhirnya berhamburan ke arah kejaksaan dan kepolisian yang telah menahan Bibit dan Chandra. Ketua Mahkamah Konstitusi misalnya, sampai menyatakan, "Saya tidak habis pikir kenapa pejabat Kejaksaan dan Polri kita mau diatur oleh cukong-cukong itu."

Berbagai kalangan pun akhirnya meminta agar polisi dan jaksa ikut juga menangkap Anggodo. Karena berdasarkan rekaman itu Anggodo diduga sudah memberikan sejumlah uang kepada pimpinan KPK.
Uang itu diberikan untuk membantu kakaknya agar terlepas dari kasusnya. Duit senilai Rp 5,1 miliar itu tidak diberikan langsung oleh Anggodo kepada pimpinan KPK. Uang diberikan melalui rekan bisnisnya, Ary Muladi.

Dari rekaman itu juga terungkap kedekatan Anggodo dengan sejumlah petinggi hukum. Bahkan ia mengakuinya secara terbuka. "Saya kenal dengan Pak Ritonga dan Pak Wisnu. Mereka teman," kata Anggodo di Mabes Polri, Jumat 30 Oktober 2009.

Abdul Hakim Ritonga saat itu menjabat sebagai Wakil Jaksa Agung. Sedangkan Wisnu Subroto adalah mantan JAM Intel Kejaksaan Agung. 

Keduanya pun mengakui kedekatan tersebut. "Dia orang lama di kejaksaan, bukan orang baru," kata Ritonga. "Dekat sekali. Pak Anggodo juga sering main ke kantor saya di Kejaksaan Agung. Saya kenal dia karena pernah beli cincin dari Pak Anggodo," kata Wisnu.

Kedekatan Anggodo dengan kepolisian juga terungkap dalam rekaman tersebut. Anggodo berkali kali menyebut nama Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Susno Duadji dan Truno-3 (istilah yang lazim digunakan di kalangan kepolisian untuk menyebut Kepala Bareskrim) .

Di DPR, Susno mati-matian membantah. Jenderal berbintang tiga ini menyatakan tak pernah sekalipun berhubungan telepon dengan Anggodo. “Kenapa yang ditampilkan (diributkan) adalah nama yang disebut-sebut dalam rekaman, dan bukannya nama orang yang berhubungan (langsung via telpon)," katanya.

Dia juga berdalih istilah ‘Truno 3' dalam rekaman itu bukan namanya, tapi alamat kantor polisi. "Tapi direka-reka dalam berita bahwa itu adalah (sandi) untuk Susno Duadji. Rupanya tidak enak kalau tidak menyebut Susno Duadji," katanya.

***
Siapakah Anggodo? Dia bersama kakaknya, Anggoro, merupakan pengusaha sukses di Surabaya. Anggodo memiliki nama asli Ang Tju Nek.

Kakaknya, Anggoro, bernama Ang Tju Hong.

Ayah mereka, Ang Gai Hwa, di Surabaya dikenal supel dan suka bergaul. Sejak 1970, dia membuka usaha dinamo di rumahnya di daerah Kalimati, Surabaya. Usaha Gai Hwa kemudian diteruskan putra-putranya. Mereka merambah ke bisnis judi.
Sejumlah media melaporkan Anggoro dan Anggodo pernah menjadi pengelola SDSB dan Porkas--judi yang dilegalkan pemerintah di era 1980-an. Bisnis mereka melambung setelah bersahabat dengan Rudy Sumampow, tauke top di Surabaya yang akrab disapa Roby Ketek.

Peredaran SDSB di seluruh wilayah Jawa Timur saat itu praktis mereka kuasai. Inilah titik awal kakak-adik Widjojo menjalin hubungan dengan aparat penegak hukum di Surabaya. Belakangan mereka melebarkan sayap bisnisnya ke Jakarta, membeli kompleks perkantoran dan hiburan Studio East di Simpang Dukuh.

Memasuki 1990, usaha mereka tak lagi terdengar. SDSB secara resmi ditutup pemerintah. Baru di awal 2000 Anggoro melejit lagi lewat PT Masaro Radiokom. Perusahaan ini merupakan agen pemasaran Motorola. Anggodo mengelola usaha parkit (lantai kayu) dan rumah kuno di Driyorejo, Gresik.

Sesekali mereka terlihat di Surabaya.

Bisnis Anggoro terganjal masalah hukum pada 2008. KPK menemukan bukti bos Masaro ini telah menyuap Yusuf Emir Faisal, anggota DPR Komisi VI DPRI waktu itu, untuk memuluskan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. KPK kemudian menetapkannya sebagai tersangka dan mencegahnya bepergian ke luar negeri. Tapi, Anggoro telanjur kabur ke Singapura.

Di Jakarta, Anggodo sang adik lah yang pergi ke sana kemari berupaya membebaskan kakaknya. Sebagaimana telah terungkap secara telanjang dalam rekaman penyadapan KPK, dia menggelontorkan uang melalui seorang perantara, Ari Muladi, untuk menyuap pimpinan KPK.

 ***

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya turun tangan dengan membentuk Tim Delapan   yang bertugas menginvestigasi adanya dugaan mafia peradilan dalam kasus Bibit dan Chandra.

Setelah dua minggu bekerja, Tim Delapan akhirnya mengeluarkan rekomendasi agar kasus Bibit dan Chandra tidak dilanjutkan. TIm Delapan menilai, polisi dan jaksa masih kurang bukti untuk menjerat Bibit dan Chandra.
Tim Delapan menilai, jika kasus ini mau dilanjutkan, maka polisi dan jaksa juga harus menjerat Anggodo sebagai tersangka. Hal ini agar kasus itu tidak terputus di tengah jalan.

Kejaksaan dan kepolisian akhirnya menghentikan kasus tersebut dan mencabut status tersangka Bibit dan Chandra. Berdasarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan, kasus Bibit dan Chandra dinyatakan selesai.

Belakangan, polisi menyatakan akan mengusut kasus Anggodo dan sudah beberapa kali melakukan pemeriksaaan. Namun hingga tulisan ini diturunkan, status kasus Anggodo di kepolisian masih belum jelas.
Hal yang sama juga terjadi di KPK. Pengusutan lembaga itu terhadap Anggodo, karena diduga melanggar ketentuan dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga belum memperlihatkan kemajuan berarti.
READ MORE - Orang Kecil, Berita Besar4
| More

Orang Kecil, Berita Besar3

Meteor dari Tepi Jalan
Mbah Surip mengajarkan ketulusan adalah kekuatan.

Mbah Surip (VIVAnews/Tri Saputro)

"Dia, gambaran manusia Indonesia sejati yang tak pernah merasa susah, tak pernah gelisah, tak pernah sedih, dan selalu tertawa meski diledek orang tetap saja tertawa, tak pernah dendam, tak membalas ledekan."

Begitulah budayawan Emha Ainun Najib menggambarkan karakter Mbah Surip, penyanyi jalanan yang kemudian menjadi fenomenal lewat lagunya "Tak Gendong ke Mana-mana."

Pada pertengahan 2009,  Mbah Surip kerap muncul di layar televisi. Penonton pasti ingat dengan tawa khasnya. Dandanannya nyentrik dengan rambut gimbal. Kalimatnya “I Love You Full” menjadi trend. Ring Back Tone lagunya juga laris manis. Dia menjadi bintang iklan.

Rezeki Surip pun membaik. Dari pengamen jalanan, dia naik ke kehidupan selebritas. Sewaktu lagunya meledak, dia naik “kelas” sedikit. Untuk urusan bisnisnya, dia tak naik ojek, atau bis lagi. Surip berhasil membeli mobil walaupun kelas mini van.

Tapi Surip tetaplah Surip. Dia hidup di tepi jalan. Makan di warung pinggir jalan, dan terlelap di satu kamar kontrakan butut, di gang sempit di Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur. Tariff kamarnya cuma Rp 300 ribu per bulan. Pecandu berat kopi ini tetap akrab dengan teman-teman pengamennya.

Tak ada soal, apakah lagunya bermutu atau tidak. Tapi Mbah Surip berkesenian dengan jujur. Dia tampil apa adanya. Dia, seperti yang kerap diungkapnya, hanya ingin membagi kebahagiaan dengan orang lain dengan tulus.

Cukup bahagiakah Mbah Surip? Tak pernah jelas cerita riwayat hidupnya. Surip adalah pria kelahiran 5 Mei 1949 di Mojokerto, Jawa Timur. Orang tuanya memberi nama Urip Ariyanto.
Soal pendidikan, Mbah Surip sih mengakunya berpendidikan tinggi. Insinyur tambang. Lain kali dia bilang dia pernah belajar filsafat. Dia juga mengaku kerja di pertambangan. Bahkan beberapa kali ke luar negeri.

Ironisnya, dia ke Jakarta hanya bermodal sepeda. Sejak 1989, dia menggelandang dan mengamen di Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan. Tidur pun lebih sering di emperan toko. Sejak itu pula dia menggimbalkan rambutnya, mengikuti gaya Tony Rastafara, seorang musisi reggae di kawasan Bulungan.

Selain di Bulungan, Mbah Surip juga kerap nongol di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Emha sering mengundangnya pada kenduri cinta di TIM ini, dan Mbah Surip menjadi salah satu ikon kenduri cinta. Dia biasanya datang dengan gitarnya.

Berada di panggung, dia membuat jamaah kenduri cinta terpingkal-pingkal. Dia biasanya memulai dengan tawanya yang khas, lalu dilanjutkan dengan “I Love You Full”. Sering kali dia membawakan lagu-lagu karyanya sendiri bak orang mengoceh asal-asalan, kadang seperti kesurupan.

Dari Bulungan dam TIM inilah Mbah Surip banyak melahirkan album. Di antaranya adalah "Ijo Royo-royo" (1997), “Indonesia“ (1998), “Reformasi” (1998), “Tak Gendong” (2003) dan “Barang Baru” (2004). Album ini bukan dirilis perusahaan musik, tapi dia rekam lalu edarkan sendiri. Didistribusikannya di warung dan toilet umum di seputar Blok M dan Ancol.

Baru pada April 2009, perusahaan rekaman Falcon menemukan si Mbah dan melihat peluang pada lagu-lagu sederhana, lugu, dan kocak itu. Mereka memilih 10 lagu, termasuk “Tak Gedong” dan “Bangun Tidur”, melemparnya ke pasar, dan meledak di pasaran. Nasib Mbah Surip pun berubah.

Surip melejit, mungkin karena orang merindukan kejujuran, atau kehidupan sederhana yang tak dibuat-buat. Atau juga kehidupan di metropolitan yang penat ini membutuhkan oase lain, semacam ‘kegilaan’ untuk berani menertawakan hidup, dan diri sendiri.

Itu sebabnya, Mbah Surip, yang salah satu liriknya justru menganjurkan perlawanan atas rutinitas (bangun tidur, tidur lagi …) seperti mengejek betapa masyarakat kota hidup begitu mekanis, datar, dan juga kering.
Dia menawarkan solidaritas lain, misalnya seperti terselip pada lirik lagu “tak gendong ke mana-mana” itu. Surip menawarkan kehangatan, agak nyeleneh, tapi orang senang dan tertawa.

Tapi kebahagiaan Surip itu begitu cepat tamat. Pada Selasa 4 Agustus 2009, dia meninggal karena sakit. Mungkin terlalu lelah karena tawaran manggung membludak. Mbah Surip meninggalkan empat anak dan empat cucu.

Mbah Surip dimakamkan di Bengkel Teater, Depok, Jawa Barat. Makam itu milik penyair nasional WS Rendra, sahabatnya yang juga ternyata turut berpulang tak lama setelah kematian Surip.

Pengamen jalanan itu mengajarkan pada banyak orang bahwa ketulusan dalam berkesenian, kejujuran dan kesederhanaan, adalah sebuah kekuatan. Meski keberhasilannya itu seperti nyala sebuah meteor: melintas sejenak, lalu sirna.
READ MORE - Orang Kecil, Berita Besar3
| More

Orang Kecil, Berita Besar2

Prita si Koin Keadilan
Prita membangkitkan solidaritas sosial dan kepekaan atas ketidakadilan.



INGAT Prita maka terbayanglah koin keadilan. Prita Mulya Sari, perempuan 32 tahun itu, menjadi ikon pencari keadilan di negeri ini pada 2009. Dia bukanlah tokoh berpengaruh. Ibu beranak dua itu hanya seorang pegawai biasa di sebuah bank swasta.

Dia bertarung di pengadilan melawan Rumah Sakit Omni International. Prita digugat RS Omni, yang berlokasi di Alam Segar, Tangerang, Banten itu, gara-gara menyebarkan keluhannya ke satu milis.

Ceritanya berlangsung pada 7 Agustus 2008. Prita datang ke RS Omni hendak berobat dengan keluhan demam. Rumah sakit memeriksanya, disebutkan trombosit Prita anjlok hingga 27 ribu, angka normal 200 ribu. Prita diharuskan menjalani rawat inap.
Celakanya, hasil pemeriksaan darah itu tak akurat. Trombositnya 181 ribu, bukan 27 ribu. Selama dirawat, kondisinya  tak kunjung membaik. Dia juga tak mendapat penjelasan memuaskan.
Pada 12 Agustus 2008, leher Prita kian membengkak. Panasnya naik 39 derajat. Prita meminta hasil rekam medis. Tapi, yang diterimanya cuma pemeriksaan laboratorium yang trombosit menunjukkan 181 ribu. Prita komplain, tapi tak ditanggapi.

Keluar dari rumah sakit ini, dia berobat di tempat lain yang cuma membutuhkan waktu dua hari untuk kesembuhannya. Kemudian, dia membagi pengalamannya untuk 10 temannya, melalui surat elektronik pada 15 Agustus 2008. Surat itu lalu beredar ke dunia maya, dan menyebar luar. Omni pun menuai cercaan.

Jengkel, Omni melaporkan Prita ke Polda Metro Jaya. Dia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal ini banyak diprotes karena membahayakan kebebasan berekspresi.
Pasal itu bisa menjebloskan seseorang ke penjara selama 6 tahun, dan denda Rp 1 miliar. Karena tututan pidana di atas lima tahun itulah, Kejaksaan Negeri Tangerang pernah menjebloskan Prita ke dalam penjara wanita.
Omni tak puas hanya dengan mempidanakan Prita, langkah perdata juga ditempuh. Pengadilan Negeri Tangerang sudah mengalahkan Prita, begitu juga Pengadilan Tinggi Banten. Prita dihukum membayar ganti rugi Rp 204 juta.

Terkepung seperti itu, jelas Prita kalang kabut. Dia tak habis mengerti, cuma mengeluhkan pelayanan rumah sakit dia terjerat persoalan hukum yang rumit. Pemberitaan gencar tentang ironi Prita itu pun memantik simpati publik.

Para blogger dan facebooker pun menggalang dukungan. Dibantu berita di televisi, seruan blooger dan facebooker ini pun cepat menyebar. Di Facebook dukungan terhadap Prita mengalir nyaris empat ratus ribuan. Lalu, ada gerakan spektakuler, seruan mengumpulkan koin membantu Prita membayar kerugian RS Omni Rp 204 juta itu.

Tanggapan rakyat luar biasa. Koin terkumpul lebih dari target, mencapai Rp 820 juta. Simpati datang dari berbagai kalangan. Ada bocah sekolah dasar menjebol celengan. Begitu juga dari kalangan pengamen. Para pelacur di Surabaya juga bahu membahu. Para elit politik tak ketinggalan ikut membantu.

Inilah dukungan luar biasa, yang secara kongkrit  berhasil digalang media jejaring sosial di 2009. Gerakan dengan hasil kongkrit itu memberi pesan bahwa masyarakat sipil masih ada, dan cukup peka atas ketidakdilan kekuasaan.
Gerakan itu juga menggentarkan RS Omni. Mereka mengambil langkah mundur, dan meminta damai. Terlanjur basah, pendukung Prita minta persoalan ini diselesaikan di pengadilan saja, yang sudah hampir rampung. Soal perdata, Prita menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung.

Pengadilan Negeri Tangerang akhirnya memutuskan Prita tak bersalah. "Tidak terbukti melakukan tindak pidana pencemaran nama baik," kata Ketua majelis hakim, Arthur Hangewa, dalam sidang pembacaan putusannya, pada Selasa 29 Desember 2009.

Majelis hakim juga memutuskan mengembalikan nama baik dan hak-hak terdakwa. Apa yang dinyatakan Prita dalam emailnya, menurut hakim, tidak melanggar hukum. "Kalimat tersebut (yang disampaikan Prita) adalah kritik dan demi kepentingan masyarakat," kata hakim.

Pada 2009, keadilan tampaknya lebih memihak Prita, dan juga rakyat.
READ MORE - Orang Kecil, Berita Besar2
| More

Orang Kecil, Berita Besar

Ponari dan Batu Ajaibnya
Ribuan orang antri berobat pada dukun Ponari. Dampak mahalnya biaya kesehatan?

Ponari, Si Dukun Cilik (Dok. Topik ANTV)

NAMA lengkapnya, Muhammad Ponari. Dia biasa dipanggil Ponari, atau Ari. Umurnya baru sepuluh tahun. Setiap hari dia berangkat sekolah ke Sekolah Dasar Balongsari II, Kecamatan Megaluh, Jombang, Jawa Timur. Dia bukan anak jenius. Dia pernah tinggal kelas.

Tapi, pada awal 2009 lalu, Ponari mencuat sebagai tokoh penting. Ribuan orang datang ke rumahnya. Mereka rela antri panjang untuk bertemu sang bocah. Desa Balongsari itu pun mendadak kesohor.

Ribuan orang itu datang mencari satu hal: kesembuhan.

Dipercaya memiliki kekuatan batu petir, Ponari ditabalkan jadi dukun yang bisa mengobati aneka penyakit. Di tengah mahalnya ongkos kesehatan bagi orang kecil, Ponari adalah dewa penyelamat. Para pengunjung desa itu percaya, Ponari adalah solusi.

Peristiwa itu terjadi seperti dongeng. Ceritanya, pada Januari 2009, hujan turun deras di desa miskin itu. Ponari keluar rumah. Dia bermain hujan-hujanan. Tiba-tiba, terdengar petir menyambar. Ponari kaget. Kepalanya sontak nyeri seperti terkena lontaran batu. Dia melirik ke bawah. Ada benda aneh: batu sekepalan tangan, di dekat kakinya. Warnanya coklat.

Dia memungut batu itu dengan perasaan heran. Di rumah, batu pipih itu lalu ditunjukkan kepada orang tuanya.  Neneknya, Mbok Legi, malah tak suka. Mbok Legi membuang batu itu ke kebun bambu, di belakang rumah. Jaraknya sekitar seratus meter. “Namun, ajaib, batu itu kembali ke meja,” kata tetangganya, Sri Supeni, 57 tahun.

Berkali-kali Mbok Legi membuang batu itu. Tapi, benda itu konon selalu kembali. Akhirnya, Ponari memutuskan menyimpan batu itu. Pikirnya, siapa tahu, ada tuahnya suatu hari.

Dan tuah itu datang dengan sepetik ide berikut: ketika ada tetangganya yang sakit, Ponari mencelupkan batu itu ke segelas air.  Si tetangga diberi minum seteguk, demi seteguk. Alkisah, setelah meminum air tadi, tetangga itu sembuh seketika.

Dongeng keajaiban pun beredar cepat: Ponari punya batu sakti penyembuh penyakit. Awalnya, berita itu menyebar ke antar tentangga. Lalu, kabar itu menembus desa sebelah. Pengunjung mulai deras. Rumah mereka yang kecil mendadak sempit. Ditemani  Kasimin (38) ayahnya, dan Mukaromah (28) ibunya, Ponari pun resmi buka praktek di gubuk sempit itu.

Hari berikutnya, jumlah pengunjung kian menggila. Gubuk Ponari sudah tak muat lagi. Paeno, paman Ponari, bertindak sigap, menyewa rumah beton tetangganya untuk klinik pengobatan alias perdukunan. Di halaman muka, tenda pun didirikan lengkap dengan jalur antrean pasien. Paman Paeno rajin mempromosikan kesaktian sang keponakan yang mampu mengobati segala tipe penyakit.

Promosi di luar nalar itu segera meluas ke luar Jombang. "Semula, pasiennya cuma tetangga di desa ini," kata Kepala Desa Balong Sari, Nila Retno Cahyani. "Hanya dalam tempo lima hari, mulai berdatang pasien dari luar desa, bahkan dari luar Jawa."

Media massa mengendus. Ponari pun muncul menjadi berita nasional di tengah-tengah keramaian kampanye calon-calon legislator yang bertarung dalam Pemilu. Wajah Ponari “sang dukun cilik” pun menghiasi layar televisi dan halaman koran.

Pada Februari 2009, jumlah antrean dalam sehari disebut-sebut mencapai sepuluh ribuan orang. Dan rebutan menjadi pasien ini menjadi berita sendiri. Pada 9 Februari, seorang pasien dan pedagang asongan tewas terinjak-injak ribuan pengunjung. Sepekan sebelumnya, dua pasien lain juga meninggal, diduga karena penyebab serupa.

Tentu, karena sudah jatuh korban, polisi lalu menutup praktek perdukunan itu. Seregu polisi berjaga ketat di pintu masuk dusun. Setiap orang yang melintas diperiksa. Tak boleh ada yang masuk kecuali penduduk setempat. Wartawan VIVAnews pun sempat tertahan dan baru diizinkan masuk setelah menunjukkan kartu pers. “Kita tak ingin jatuh korban lagi,” ujar Kepala Kepolisian Resor Jombang, Ajun Komisaris Besar M. Kosim.

Namun pengunjung terus menerobos masuk. Tak bisa lewat jalan raya, mereka menyusup melalui sawah. Yang tak kebagian waktu untuk berobat, rela menunggu sang dukun mandi, menampung air mandi sang dukun cilik itu, lalu meminumnya. Entah kabar dari mana, bekas air mandi Ponari juga punya berkah sendiri. 

Bahkan, kisah sihir Ponari seperti kian menjadi. Sehari setelah penutupan, beredar cerita bahwa yang berkhasiat bukan hanya air yang dicelup batu ajaib Ponari. Air sumur di depan rumahnya pun mujarab. Maka berbondong-bondong lah pengunjung mengerubuti sumur itu. Mereka baru berhenti setelah pompa rusak diterjang massa.

Sebagian berebut meminum air hujan yang tumpah dari atas tenda “klinik”.  Lebih edan lagi, yang belum kebagian menyerbu air comberan di sekeliling rumah. Ada yang memasukkannya ke dalam botol dan kantung plastik, tapi sebagian yang lain langsung menenggak di tempat air berwarna kecoklatan itu.

Ponari berkembang menjadi bisnis besar bagi desa. Meski Ponari dibayar seikhlasnya, namun banyaknya orang yang datang ke desa miskin itu membuka kesempatan kerja baru. Tukang parkir jumlahnya ratusan. Ojek mendadak ramai. Sewa rumah penginapan laris, dan juga warung makan. Bahkan penjual buku "Ponari Sang Dukun Cilik” turut mendapat berkah.

Lama tak dipedulikan dinas pekerjaan umum setempat, jalan di kampung itu kini dibangun warga sendiri dengan bergotong-royong. “Kami mendapat rezeki dari dia, wajar kalau kami menyisihkan sebagian untuk hal-hal seperti itu," kata Suwanto, seorang warga. Sosiolog dari Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, berkomentar setengah menyindir, "Pemerintah seharusnya berterimakasih kepada Ponari."

Ponari menjadi juru selamat buat desanya. Berpenduduk 1.200 orang, Balongsari adalah potret kemiskinan paling telanjang di Jawa. Rata-rata warga adalah petani musiman. Tingkat penggangguran mencapai 70 persen.
Sang kepala desa, Nila Retno Cahyani, sampai mengaku tak tahan melihat kemelaratan warganya. Kondisi puskesmas di ujung kampung jauh dari layak. Bila ada warganya dirujuk untuk berobat ke Rumah Sakit Jombang atau RSUD Dr. Sutomo Surabaya, Nila sudah pasti harus menerbitkan surat keterangan miskin.

Sementara kebenaran Ponari bisa mengobati juga sebuah misteri. Ada yang mengaku sembuh setelah meminum air yang dicelup batu itu. Tapi tak sedikit yang justru semakin sakit parah dan lalu meninggal dunia.

Si empu batu sendiri, Ponari, juga tak sesakti yang dikira. Tatkala ribuan orang antre di tempat praktiknya, fisik Ponari yang masih berumur sembilan tahun itu pun ambruk. Selasa, 10 Februari 2009, dia terserang demam, dan lalu dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkari. Kata sang dokter: Ponari butuh istirahat.
READ MORE - Orang Kecil, Berita Besar
| More