Hikayat Hukum Tiga Kakao
Minah adalah ironi dunia hukum kita: tumpul ke atas, tajam ke bawah.
| ||
Contoh kasusnya adalah Nenek Minah. Proses hukum di negeri ini begitu lancar dan tajam, tatkala orang seperti Minah tersandung masalah. Padahal, perkara Minah hanyalah tiga butir kakao yang dipetiknya di kebun milik PT. Rumpun Sari Antam.
Berumur 65 tahun, perempuan buta huruf ini bahkan tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Di Dusun Sidoharjo, Ajibarang, Banyumas, Jawa Timur, Minah hidup bersama suaminya, Sanrudi. Dalam rumahnya hanya ada meja makan dari kayu dan bangku panjang.
Sehari-hari mereka mengembala kambing. Buat mencukupi kebutuhan hidup, suami isteri ini juga menggarap lahan milik orang lain, dengan menanam 200 bibit kakao di desanya.
Suatu hari, pada 2 Agustus 2009, Minah memetik tiga buah kakao dari kebun Rumpun Sari Antam. Minah tak mengendap-ngendap saat memetik. Dia tak bermasud mencuri untuk menjualnya. “Hanya untuk saya jadikan bibit,” katanya. Dia mengupas dan mengambil bijinya.
Saat itulah, Sutarno, petugas patroli Rumpun muncul dan memergoki. Karena salah, Minah minta maaf pada Tarno sambil menangis. Tarno mengambil tiga kakao berikut karung plastik Minah, dan diserahkan ke perusahaan.
Rupanya, perusahaan itu melaporkan ke Kepolisian Sektor Ajibarang. Sejak 13 Oktober 2009, Minah diperiksa sebagai tersangka. Bolak-balik dipanggil polisi, Minah berat menanggung ongkos. Tak sebanding dengan tiga kakao yang cuma senilai dua ribu perak.
Aparat polisi di sana rada tak tega menangani kasus ini, sehingga pernah menawarkan jalan damai ke perusahaan itu. Namun Rumpun Sari tetap berkeinginan “memberi pelajaran untuk nenek tua itu”. Akhirnya perkara Minah bergulir hingga ke Pengadilan Negeri Purwokerto.
Tentu Minah tak mengerti bunyi pasal-pasal yang diberondong jaksa penuntut umum ke arahnya. Dia dituduh melanggar Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukuman pasal ini maksimal lima tahun penjara.
Awal November lalu, perkara ini pun mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Purwokerto. Tentulah Minah tak kuat membayar pengacara. Bahkan hadir ke pengadilan pun dia kerepotan. Dia harus berganti kenderaan umum sampai tiga kali. Ongkos transportnya Rp 100 ribu setiap kali akan sidang.
Perkara Minah adalah ironi bagi hukum di negeri ini. Minah yang hanya mengembat tiga butir kakao diseret ke pengadilan. Memang, secara hukum unsur pidananya tercukupi. Majelis hakim pun memvonis Minah bersalah, dan menghukumnya 1,5 bulan penjara.
Tapi, sang Hakim sampai berlinang airmatanya saat mengetuk palu. ”Tidak perlu masuk penjara,” ujar Muslich Bambang Luqmono, Ketua Majelis Hakim. ”Nggih, Pak Hakim, kulo ngertos (saya mengerti),” Minah menjawab sambil meremas jemarinya. Dia menunduk.
”Dia petani yang tak akan kaya hanya dengan tiga kakao,” kata Bambang dengan suara terbata-bata. “Seharusnya diselesaikan di tingkat RT.”
Seperti kata Todung Mulya Lubis melanjutkan kutipan di lead tulisan ini, bahwa “Hukum kita begitu tumpul ketika ke atas, dan tajam jika ke bawah”, maka kasus Minah adalah ironi itu.
Dia meledak saat republik lagi heboh oleh ulah Anggodo Widjojo, yang mencoba merekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK.
Anggodo, yang rekaman pembicaraannya melibatkan banyak petinggi hukum di negeri ini, justru seperti bebas dari tangan hukum. Tapi Minah tidak.
0 komentar:
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63
Posting Komentar