Menurut Russell yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah satu atau lebih pengalaman seksual yang tidak diinginkan dengan orang lain, baik dengan orang-orang ynag berhubungan darah maupun dengan yang berhubungan karena pernikahan, dengan rentang usaha dari menyentuh hingga perkosaan sebelum korban berusia 14 tahun, dan pengalaman perkosaan atau usaha percobaan perkosaan terhadap orang-orang berusia 14 hingga 17 tahun.
Russell memasukkan pula tindakan kekerasan terhadap anak-anak oleh orang dewasa yang dikenal dalam keluarga besar atau oleh orang asing. Selain itu juga tercakup tindak kekerasan seksual oleh remaja teman sebaya dan tindak kekerasan yang muncul dalam situasi pribadi, misalnya di tempat penitipan anak. Peristiwa kekerasan seksual sebagaimana yang disebutkan di atas, bisa muncul sekali saja, tetapi mungkin juga terjadi secara rutin (terus menerus). Pelakunya bisa satu orang, bisa pula sekelompok orang.
Mengacu Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Sementara bila dipakai rujukan dari hukum positif Indonesia maka semua peristiwa kekerasan seksual tak dapat dijelaskan secara memadai dan adil. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam kerusuhan Mei 1998 lalu, dapat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu: perkosaan, perkosaan dengan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual.
Jenis-Jenis Kekerasan Seksual
Apabila berbicara tentang kekerasan seksual di Indonesia, pemahamannya sering kali terbatas hanya pada kekerasan seksual yang bersifat pemerkosaan terhadap kaum perempuan. Namun, sebenarnya pemerkosaan hanyalah merupakan satu dari berbagai jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan.
Dalam diskusi tentang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, yang diselenggarakan oleh Kelompok Sahabat Perempuan Yogyakarta tahun 1992, sedikitnya diketemukan tiga jenis kekerasan seksual dilihat dari sudut akibat yang diderita korban, yaitu;
1. Perlakuan kejam terhadap istri (wife abuse)
Tindakan pemukulan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang dikenal sebagai wife abuse. tindak kekerasan ini sering terjadi dalam rumah tangga yang terjadi karena adanya dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dalam rumah tangga.
2. Godaan seksual (sexual harassement)
Tindak kejahatan ini berbentuk teror yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan yang menjadi bawahannaya, atau yang masa depannya tergantung padanya, dengan tujuan agar si perempuan mau melayani secara seksual. Kekerasan seksual jenis ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dengan cara “halus”, seperti membicarakan masalah seksual dengan perempuan bukan istrinya, menyebut bagian tubuh perempuan yang menarik secara seksual baginya, dan sebaliknya. Yang menarik dari jenis kekerasan ini adalah tindakan pembalasan yang dilakukan oleh laki-laki apabila si perempuan itu menolak kehendaknya, karena mempunyai kekuasaan yang menentukan masa depan si perempuan, laki-laki itu dapat berbuat berbagai cara untuk membalas dendam terhadap si perempuan.
3. Kekerasan yang muncul akibat ketakutan laki-laki menghadapi resiko.
Jenis kekerasan seksual seperti ini dimulai dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkembang atas dasar suka sama suka. Namun ketika hubungan seksual itu terlihat membuahkan sesuatu, tiba-tiba si laki-laki tidak berani mengambil resiko dari perbuatannya dan mendorongnya berbuat kekerasan. Sebenarnya, yang lebih menarik dari sudut sosiologis atas kejahatan seksual jenis ini adalah akibat kekerasan terhadap perempuan, yaitu;
a. Akibat kekerasan itu adalah si korban akan dibunuh oleh laki-laki yang semula mencintai si korban.
b. Si korban menjadi kalap dan terpaksa harus menjadi penjahat dan membunuh bayi yang lahir karena berhubungan seks dengan laki-laki yang tidak bertanggung jawab.
c. Korban akan melakukan pekerjaan apapun, termasuk pekerjaan yang merendahkan martabat sebagi perempuan, seperti melacurkan diri guna menghidupi anaknya.
Sanksi masyarakat terhadap perempuan yang terlibat dalam jenis kekerasan inipun sering dirasakan tidak adil, karena perempuanlah yang harus menanggung semua sanksi, termasuk harus mendekam di dalam penjara sebagai pembunuh atau hidup dalam masa depan yang gelap.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis kekerasan seksual di antaranya adalah perlakuan kejam terhadap istri (wife abuse), godaan seksual (sexual harassment), dan kekerasan yang muncul akibat ketakutan laki-laki menghadapi resiko.
Faktor Penyebab Kekerasan Seksual
Ada empat faktor penyebab timbulnya kekerasan seksual (Collier, 1998) yaitu:
1. Faktor sosial budaya
Pada garis besarnya masyarakat Indonesia yang sarat dengan berbagai etnis terbagi dalam dua garis besar sistem kekeluargaan, yaitu berdasarkan garis ibu (matrilenial) dan garis bapak (patrilenial). Akan tetapi pada umumnya garis yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah garis bapak, dan hal tersebut disadari atau tidak, seakan-akan telah mendominasi pola kehidupan dalam masyarakat. Pola kehidupan sosial budaya yang dijalani seseorang semenjak kecil dalam etnis keluarganya, tanpa disadari sedikit banyak mempengaruhi pula terhadap pola tingkah laku seseorang kemudian dalam kehidupan bermasyarakat.
Adanya suatu realita alami bahwa pada umumnya secara fisik kaum laki-laki lebih kuat dari pada kaum perempuan, telah turut mempengaruhi pola pikir, sikap dan tindak kaum laki-laki pada umumnya dalam memandang dan memperlakukan kaum perempuan, baik dalam hubungan pribadi maupun hubungan kolegikal.
Realita alami serta pola budaya tersebut memberikan anggapan bahwa kaum pria lebih dominan dari pada kaum wanita dan hal tersebut tak jarang menimbulkan penyebab perilaku sewenang-sewenang terhadap kaum wanita baik didalam keluarga maupun didalam kehidupan bermasyarakat dan tak jarang membawa akibat penderitaan yang berkepanjangan bagi kaum wanita, berujud perlakuan yang sewenang-wenang yang berujud fisik dan atau mental psikologis.
2. Faktor sosial ekonomi
Tingkat kehidupan perekonomian yang rendah, erat kaitannya dengan lingkungan tempat tinggal yang kumuh, pasar tradisional, kaum ekonomi lemah atau rendah. Hal-hal tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perikehidupan sehari-hari yang mudah timbulnya ledakan-ledakan emosional yang tak mudah terkendali sehingga budaya kekerasan akibat rendahnya kehidupan social ekonomi lebih banyak mewarnai pula tindak, sikap dalam kehidupan sehari-harinya (Soetrisno, 1997). Budaya kekerasan mendominir realita kehidupan sehari-hari, hingga kekuatan fisik atau jasmani, kekuatan kelompok merupakan status simbol dan status sosial dalam masyarakat tersebut dan berdampak pula terhadap pandangan, anggapan serta sikap dalam mengartikan kehadiran kaum perempuan dilingkungan tersebut.
Masyarakat yang tingkat kehidupan sosial ekonominya rendah, mobilitas (dalam artian untuk kepentingan rekreasi) sangat rendah frekuensinya, hingga realisasi mobilitas tersebut terpaku pada lingkungannya saja, hal tersebut semakin mendorong budaya kekerasan sebagai jalan keluarnya dan sasaran paling mudah adalah kaum wanita, hingga kekerasan dan pelecehan terhadap kaum wanita bukan satu hal yang aneh, bukan satu hal yang harus dihindari.
3. Faktor sosial psikologis
Faktor ini kebanyakan lebih terkonsentrir pada diri pribadi pelaku dari sisi kejiwaannya. Sebab-sebab kelainan, psikopat dan mental disorder dan hal-hal yang dialami secara kejiwaan dalam keluarga yang mempunyai kaitannya dengan lawan jenis dan terpendam, meledak keluar dan mengambil sasaran lawan jenis (perempuan) di luar lingkungan kehidupan keluarganya, baik berwujud kekerasan ataupun pelecehan yang ekstrim (sebagai misal secara demonstratif memegang-megang bagian-bagian tubuh yang terlarang dari lawan jenisnya)
4. Faktor sosiopolitik
Harus diakui bahwa kekerasan seksual tidak bisa dipahami dari faktor individual saja, karena berkaitan dengan berbagai tujuan sosial yang ada di belakang kekerasan seksual tersebut. Dalam kasus-kasus perkosaan, para pemerkosa melakukannya bukan hanya karena dorongan seksual, tetapi juga karena berkaitan dengan rasa kemarahan, kekecewaan, dan kefrustasian. Pemerkosaan juga bisa berarti tindakan politis atau suatu tindakan penghancuran etnis (Berstein dan Kean dalam Boso, 2002). Kasus pemerkosaan misal di Indonesia yang dilakukan terhadap etnis minoritas Cina pada Mei 1998 bisa menggambarkan sebagai suatu rangkaian kemarahan rakyat terhadap situasi poltis yang kacau, atau kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan poltik-ekonomi Negara terhadap kelompok etnis Cina.
Latar Belakang Terjadinya Tindak Kekerasan Seksual
Davies (dalam Wirawan, 1997) berpendapat bahwa ada beberapa latar belakang yang menimbulkan terjadinya tindak kekerasan seksual, diantaranya adalah:
1. Penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas
Tindak kekerasan seksual muncul jika seorang dewasa menyalahgunakan kekuasaannya atau otoritasnya terhadap anak atau memanfaatkan kepercayaan dan rasa hormat anak untuk melibatkannya dalam aktivitas seksual. Pelaku mungkin menggunakan muslihat, bujukan, anacaman dan bahkan kekuatan fisik untuk membuat seseorang individu terlibat dalam aktivitas seksual. Anak tidak akan memiliki kekuatan emosional maupun fisik untuk menolak tuntutan penyerangnya (pelaku). Seorang anak yang diserang, baik oleh orang asing maupun orang yang dikenalnya, cenderung akan merasa takut dan tidak berdaya (Davies, 1994).
2. Ketidaksetaraan status dan jender
Kekerasan seksual terhadap perempuan bisa berasal dari ketidaksetaraan status dan jender perempuan dewasa dan anak perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Hak istimewa laki-laki di bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi pada umumnya, memungkinkan mereka melanjutkan kontrol terhadap perempuan. Kekerasan seksual dan penyiksaan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan berakar dalam tradisi supermasi laki-laki yang mengajarkan bahwa perempuan tidak berharga, kurang layak dan bisa diperlakukan buruk atau kasar sehingga sikap negatif dan stereotip berkembang serta melembaga.
3. Toleransi terhadap kekerasan
Kekerasan seksual yang muncul dalam keluarga, seringkali ditoleransi oleh korban, keluarga serta masyarakat. Kasus kekerasan seksual yang terjadi sering tidak dilaporkan sehingga sulit dideteksi. Korban seringkali tidak dilindungi dan pelaku tidak dihukum setimpal dengan perbuatannya, sehingga kekerasan terus berlanjut.
4. Tekanan sosial
Kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan anak perempuan diperburuk oleh tekanan sosial, antara lain: (1) kurangnya akses perempuan terhadap informasi, (2) bantuan dan perlindungan hukum, (3) gagalnya hukum untuk menghambat tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, (4) gagalnya reformais hukum yang ada, (5) tidak mempunyai pihak otoritas masyarakat untuk mempromosikan kesadaran hukum dan memperkuat hukum yang ada, (6) tidak adanya pendidikan maupun cara lain untuk menangani penyebab dan konsekuensi kekerasan seksual (Mitchel dalam Wirawan, 1997).
Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual
Secara garis besar ada dua bentuk kekerasan seksual, yaitu :
1. Pelaku kekerasan mengenal si korban
Bentuk kekerasan ini dilakukan karena dendam, sakit hati atau si pelaku ingin menghilangkan saksi atas perbuatannya yang dapat membahayakan keamanannya (Moeljanto, 1982). Kekerasan seksual dalam kasus ini lebih banyak berakibat hilangnya nyawa si korban sekaligus untuk menghilangkan jejak pelaku.
2. Pelaku kekerasan tidak mengenal si korban
Kekerasan ini biasanya terdapat pada kasus-kasus seperti penjambretan, penodongan, perampokan dan juga perampokan yang disertai perkosaan. Kasus perampokan disertai perkosaan atau perkosaan merupakan kasus tersendiri, secara analisis menunjukkan kecenderungan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan dan atau upaya untuk melakukan teror mental agar korban perampokan tidak berani memberikan perlawanan.
Ancaman perkosaan sering dijadikan alat untuk menundukkan korban perampokan. Kekerasan terhadap kaum perempuan di masyarakat dimana si pelaku tidak atau belum mengenal si korban, kaum wanita yang menjadi korbannya kebanyakan dilukai dan hanya dalam situasi kondisi tertentu saja kaum perempuan yang menjadi korban dibunuh.
Tindak kekerasan seksual merupakan bentuk khusus perilaku agresi yang bersifat aktual, yang secara fisik maupun verbal menimbulkan dampak negatif termasuk merusak, menyakiti, melukai atau merugukan orang lain atau objek perilaku kekerasan seksual. Tindak kekerasan seksual bervariasi mulai dari kekerasan yang tergolong ringan, seperti ancaman verbal, hingga yang tergolong serius, seperti keinginan bunuh diri atau tindakan pembunuhan (Edleson dalam Thalib, 2002).
Berkowitz (dalam Thalib, 2002) menggolongkan agresi kedalam dua kategori utama, yaitu (1) agresi instrumental (instrumental aggression), dan (2) agresi kebencian (hostile aggression). Agresi instrumental adalah agresi untuk pencapaian tujuan, keinginan, atau harapan tertentu. Agresi kebencian adalah agresi yang bertujuan untuk menyakiti, membunuh, atau menghancurkan lawan.
Agresi juga dapat dibedakan dalam dimensi agresi impulsif (impulsive aggression) dan agresi yang dilakukan secara sadar (consciously controlled aggression). Agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan tanpa pertimbangan, sedangkan agresi yang dilakukan secara sadar adalah agresi yang telah direncanakan secara matang, secara sengaja, dan disertai dengan tujuan yang jelas (Berkowitz dalam Thalib, 2002)
Diarsi (dalam Manurung, 2002) membagi kekerasan terhadap perempuan menjadi dua bentuk yaitu; (1) kekerasan publik, dan (2) kekerasan domestik. Kekerasan publik terjadi bila pelaku kekerasan dan korban kekerasan tidak memiliki hubungan tali kekerabatan atau pertalian darah perkawinan. Termasuk di dalam kekerasan ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, dan kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Kekerasan domestik terjadi bila anatara pelaku kekerasan dengan korban kekerasan masih memiliki hubungan darah atau kekerabatan dan perkawinan. Hal yang paling menonjol dalam kekerasan domestik adalah kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri.
Dampak Psikologis Kekerasan seksual
Dampak Psikologis terhadap perempuan terbagi menjadi dua (Murniati, 1998) yaitu :
1. Dampak tak langsung
Pelecehan dan kekerasan seksual tak langsung terjadi melalui manifestasi verbal maupun tertulis, meliputi berbagai perlakuan non-fisik termasuk pemandang-rendahan, peremehan, pengucilan, pengabaian, pembedaan peran atau diskriminasi perempuan terhadap laki-laki, stereotip perempuan yang terjadi oleh ketidak-tahuan, ketidak pekaan.
Tindak kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi penghambat bagi kemajuan perempuan, serta menghalangi wanita menikmati hak asasi dan kebebasan mereka. Kekerasan terhadap perempuan juga menghambat tercapainya kesetaraan jender antara perempuan dan laki-laki. Untuk waktu yang panjang tindak kekerasan tersebut telah berlangsung di dunia ini. melalui tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, sebenarnya dunia melestarikan jender yang timpang, yaitu adanya marginalisasi-subordinasi-beban berlebih-stereotyping-perempuan (Moeljanto,1982).
Berdasarkan harkat dan martabat manusia, terjadi dehumanisasi perempuan menjadi obyek baik obyek seksual maupun obyek kebendaan yang bahkan bisa diperjual belikan. Perbedaan antara dua jenis kelamin tidak saja kodrati biologis yang secara hakiki memang berbeda dengan laki-laki, namun dalam segala aspek kehidupan manusia mengkreasi perbedaan perempuan dengan laki-laki. Termasuk didalamnya adalah kreasi sosial kedudukan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki sehingga terjadi perilaku subordinatif, pemeranan domestik, dengan deretan panjang stereotip yang dicitrakan pada perempuan.
Paling menarik adalah perilaku pengabdian perempuan yang bisa terjadi oleh karena adanya internalisasi jender. Belum berkembangnya kepekaan pada masalah perempuan yang berangkat dari idiologi jender bagi mereka yang telah sadar jender dapat pula menjadi penyebabnya. Sekilas pengabdian tidak akan menyakiti perempuan baik psikologis maupun fisiknya. Kenyataannya, bahkan dalam era pembangunan sekalipun, perempuan banyak sekali mengalami pengabdian ditempat kerja. Sepintas pengabdian adalah salah satu bentuk pelecehan yang ringan. Bila hal ini terjadi pada kebijakan, akan terjadi dampak politik yang luar biasa. Misalnya. tidak diperhitungkannya perempuan dalam kebijakan, program dan proyek pembangunan. Indonesia memang bukan satu-satunya negara dimana perempuan tak muncul dalam perencanaan sektor. Hingga akhir tahun 80-an, perempuan memang masih hilang dalam perencanaan di kawasan Asia Pasifik (Huzyer dalam Soetrisno, 1997). Dampaknya adalah tetap tertinggalnya perempuan lebih dari separoh penduduk suatu negara bahkan dunia.
2. Dampak langsung
Secara langsung dampaknya akan mengena pada perempuan itu sendiri dan atau orang lain berupa gangguan emosi (dari berat sampai ringan) dan kesakitan, kerusakan fisik sampai pada kematian. Secara langsung, bentuknya antara lain adalah;
a. Verbal, dari yang ringan semacam olok-olokan, lelucon, candaan hingga yang berat seperti penghinaan, umpatan, penistaan, rayuan maupun ajakan-ajakan yang berorientasi seksualitas.
b. Fisik, dari yang ringan yaitu colekan-colekan, cubitan, tekanan pada tubuh atau bagian tubuh, kegemasan, berbagai jenis kejahilan seksual, hingga tindak kekerasan berupa salah satu atau kombinasi lebih dari satu pemukulan fisik, penyekapan, perkosaan, pembunuhan dan berbagai jenis penghilangan jejaknya.
Dampak yang secara langsung dan gampang dicermati beban psikologis dan selanjutnya berpengaruh pisik (misalnya schizoprenia dan fisik disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidak bahagiaan, rasa terbuang karena tidak diterima oleh masyarakat, derita akibat kesakitan, cacat tubuh bahkan kematian. Korban ada yang ke dokter ketika merasa menderita sakit.
Cidera akibat tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pelaku yang intim dengan korban ternyata sama seriusnya, bahkan sering lebih gawat daripada oleh pelaku yang tidak dikenal oleh korban.
Perempuan boleh jadi juga melakukan tindak kekerasan terhadap laki-laki, namun kenyataan membuktikan bahwa kekerasan yang berakibat luka, jauh lebih banyak dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dibanding yang dilakukan oleh perempuan terhadap lawan jenisnya yaitu laki-laki. Oleh karena itu tindak kekerasan seksual terhadap perempuan sedikit demi sedikit harus dihapuskan.
Penghapusan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan membutuhkan penghapusan akar permasalahannya, yaitu idiologi jender, khususnya yang berkaitan dengan subordinasi perempuan. Karena isunya multi-faset, berbagai faktor yang turut serta berpengaruh, seperti diantaranya mekanisme pemerintah dan pembangunan, hukum, kelas, budaya, ekonomi, media masa. Setiap mata faset harus mendapatkan penanganan secara tuntas. Untuk itu berbagai pihak baik pemerintah, organisasi bukan pemerintah, pengusaha, pekerja, dan lain-lainnya yang baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dalam upaya perlindungan perlu segera mengadakan langkah-langkah secara partisipatip, dengan menggunakan studi wanita sebagai dasar keilmuan serta mengembangkan kebijakan dan operasionalisasi penelitian pelecehan dan kekerasan di masyarakat sesuai dengan metodologi yang dituntut dalam keilmuan studi perempuan.
Kaum perempuan juga sering kali mengalami tindak kekerasan seksual dalam kehidupan rumah tangganya. Kekerasan seksual ini didukung oleh anggapan masyarakat tentang mitos-mitos yang ada dalam masyarakat, misalnya dalam keluarga suami adalah pemimipin yang berhak memperlakukan istrinya sekehendak hatinya termasuk mengontrol istri. Ada juga mitos yang mengatakan bahwa tidak seorangpun berhak ikut campur dengan urusan suami istri karena hal itu adalah urusan pribadi.
Mitos-mitos ini masih sangat kental diyakini oleh masyarakat di Indonesia, sehingga tentu saja mempengaruhi sikap terhadap tindak kekerasan terutama yang terjadi dalam keluarga. Terlebih lagi persoalan ini umumnya sering dialami oleh perempuan.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk pengontrolan terhadap pasangan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah (Murniati, 1998) :
a. Budaya patriakri, budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior. Sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.
b. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama, sering kali ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin diinterpretasikan sebagai pembolehan dan menguasai istrinya.
c. Pengaruh role mode, anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dimana ayah suka memukul ataupun kasar kepada ibunya, cenderung akan meniru pola tersebut kepada pasangannya
Dampak dari tindak kekerasan seksual yang terjadi dalam keluarga ataupun dalam masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan kesan yang negatif dan memberi dampak secara psikologis berupa trauma dan ketakutan terhadap pengalaman masa lalu yang akhirnya akan berpengaruh terhadap kehidupan ataupun orientasi dimasa yang akan datang.
Masalah psikologis bisa terjadi pada perempuan yang pernah mengalami tindak kekerasan seksual, baik segera setelah peristiwa itu terjadi maupun beberapa waktu kemudian setelah korban kekerasan seksual memasuki tahap kehidupan selanjutnya. Berbagai masalah itu diantaranya: mimpi buruk, kecemasan berpisah yang tidak sesuai dengan usianya, depresi, keluhan psikosomatis, malu untuk bersekolah atau mengalami kesulitan belajar. Korban kekerasan seksual dalam berhubungan dengan orang lain akan cenderung mudah merasa ketakutan, merasa tidak aman, meragukan hubungan cinta dan kasih sayang, tidak dapat mempercayai orang lain, mengalami kesulitan untuk mempertahankan kedekatan dengan orang lain atau cenderung bersikap agresif (Haskell dalam Wirawan, 1997). Korban kekerasan seksual dapat mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri atau mengidap fobia ganda (di dalam ruangan, di luar ruangan, sendirian, dalam kerumunan, dengan orang asing maupun dalam aktivitas seksual).
Korban kekerasan seksual dapat mengalami masalah dalam identitas dirinya yaitu sensitif, tidak percaya diri, tidak menghargai diri sendiri, merasa bersalah, mempunyai pikiran dan tingkah laku yang merusak diri sendiri atau mengalami trauma psikologis berat yang berakibat pada kecenderungan membunuh diri, alkoholik, menggunakan obat-obatan serta menderita gejala somatik parah (Kelly dalam Wirawan, 1997).
Anak perempuan yang telah dipaksa mengalami kehidupan seksual yang belum waktunya oleh suatu tindakan kekerasan atau eksploitasi seksual yang positif dan berharga serta cenderung mengalami kesulitan untuk menghargai kehidupan seksualnya (Davies, 1994).
Bisa disimpulkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap perempuan secara fisik maupun psikis adalah sebagai berikut; korban kekerasan seksual akan mengalami ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidak bahagiaan, rasa terbuang karena tidak diterima oleh masyarakat, derita akibat kesakitan, cacat tubuh bahkan kematian. Dampak yang lain bisa berupa mimpi buruk, kecemasan berpisah yang tidak sesuai dengan usianya, depresi, keluhan psikosomatis, malu untuk bersekolah atau mengalami kesulitan belajar, meragukan hubungan cinta dan kasih sayang, tidak dapat mempercayai orang lain, mengalami kesulitan untuk mempertahankan kedekatan dengan orang lain atau cenderung bersikap agresif. Korban kekerasan seksual juga bisa menjadi pribadi yang sensitif, tidak percaya diri, tidak menghargai diri sendiri, merasa bersalah, mempunyai pikiran dan tingkah laku yang merusak diri sendiri, serta cenderung mengalami kesulitan untuk menghargai kehidupan seksualnya.
Russell memasukkan pula tindakan kekerasan terhadap anak-anak oleh orang dewasa yang dikenal dalam keluarga besar atau oleh orang asing. Selain itu juga tercakup tindak kekerasan seksual oleh remaja teman sebaya dan tindak kekerasan yang muncul dalam situasi pribadi, misalnya di tempat penitipan anak. Peristiwa kekerasan seksual sebagaimana yang disebutkan di atas, bisa muncul sekali saja, tetapi mungkin juga terjadi secara rutin (terus menerus). Pelakunya bisa satu orang, bisa pula sekelompok orang.
Mengacu Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Sementara bila dipakai rujukan dari hukum positif Indonesia maka semua peristiwa kekerasan seksual tak dapat dijelaskan secara memadai dan adil. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam kerusuhan Mei 1998 lalu, dapat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu: perkosaan, perkosaan dengan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual.
Jenis-Jenis Kekerasan Seksual
Apabila berbicara tentang kekerasan seksual di Indonesia, pemahamannya sering kali terbatas hanya pada kekerasan seksual yang bersifat pemerkosaan terhadap kaum perempuan. Namun, sebenarnya pemerkosaan hanyalah merupakan satu dari berbagai jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan.
Dalam diskusi tentang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, yang diselenggarakan oleh Kelompok Sahabat Perempuan Yogyakarta tahun 1992, sedikitnya diketemukan tiga jenis kekerasan seksual dilihat dari sudut akibat yang diderita korban, yaitu;
1. Perlakuan kejam terhadap istri (wife abuse)
Tindakan pemukulan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang dikenal sebagai wife abuse. tindak kekerasan ini sering terjadi dalam rumah tangga yang terjadi karena adanya dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dalam rumah tangga.
2. Godaan seksual (sexual harassement)
Tindak kejahatan ini berbentuk teror yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan yang menjadi bawahannaya, atau yang masa depannya tergantung padanya, dengan tujuan agar si perempuan mau melayani secara seksual. Kekerasan seksual jenis ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dengan cara “halus”, seperti membicarakan masalah seksual dengan perempuan bukan istrinya, menyebut bagian tubuh perempuan yang menarik secara seksual baginya, dan sebaliknya. Yang menarik dari jenis kekerasan ini adalah tindakan pembalasan yang dilakukan oleh laki-laki apabila si perempuan itu menolak kehendaknya, karena mempunyai kekuasaan yang menentukan masa depan si perempuan, laki-laki itu dapat berbuat berbagai cara untuk membalas dendam terhadap si perempuan.
3. Kekerasan yang muncul akibat ketakutan laki-laki menghadapi resiko.
Jenis kekerasan seksual seperti ini dimulai dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkembang atas dasar suka sama suka. Namun ketika hubungan seksual itu terlihat membuahkan sesuatu, tiba-tiba si laki-laki tidak berani mengambil resiko dari perbuatannya dan mendorongnya berbuat kekerasan. Sebenarnya, yang lebih menarik dari sudut sosiologis atas kejahatan seksual jenis ini adalah akibat kekerasan terhadap perempuan, yaitu;
a. Akibat kekerasan itu adalah si korban akan dibunuh oleh laki-laki yang semula mencintai si korban.
b. Si korban menjadi kalap dan terpaksa harus menjadi penjahat dan membunuh bayi yang lahir karena berhubungan seks dengan laki-laki yang tidak bertanggung jawab.
c. Korban akan melakukan pekerjaan apapun, termasuk pekerjaan yang merendahkan martabat sebagi perempuan, seperti melacurkan diri guna menghidupi anaknya.
Sanksi masyarakat terhadap perempuan yang terlibat dalam jenis kekerasan inipun sering dirasakan tidak adil, karena perempuanlah yang harus menanggung semua sanksi, termasuk harus mendekam di dalam penjara sebagai pembunuh atau hidup dalam masa depan yang gelap.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis kekerasan seksual di antaranya adalah perlakuan kejam terhadap istri (wife abuse), godaan seksual (sexual harassment), dan kekerasan yang muncul akibat ketakutan laki-laki menghadapi resiko.
Faktor Penyebab Kekerasan Seksual
Ada empat faktor penyebab timbulnya kekerasan seksual (Collier, 1998) yaitu:
1. Faktor sosial budaya
Pada garis besarnya masyarakat Indonesia yang sarat dengan berbagai etnis terbagi dalam dua garis besar sistem kekeluargaan, yaitu berdasarkan garis ibu (matrilenial) dan garis bapak (patrilenial). Akan tetapi pada umumnya garis yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah garis bapak, dan hal tersebut disadari atau tidak, seakan-akan telah mendominasi pola kehidupan dalam masyarakat. Pola kehidupan sosial budaya yang dijalani seseorang semenjak kecil dalam etnis keluarganya, tanpa disadari sedikit banyak mempengaruhi pula terhadap pola tingkah laku seseorang kemudian dalam kehidupan bermasyarakat.
Adanya suatu realita alami bahwa pada umumnya secara fisik kaum laki-laki lebih kuat dari pada kaum perempuan, telah turut mempengaruhi pola pikir, sikap dan tindak kaum laki-laki pada umumnya dalam memandang dan memperlakukan kaum perempuan, baik dalam hubungan pribadi maupun hubungan kolegikal.
Realita alami serta pola budaya tersebut memberikan anggapan bahwa kaum pria lebih dominan dari pada kaum wanita dan hal tersebut tak jarang menimbulkan penyebab perilaku sewenang-sewenang terhadap kaum wanita baik didalam keluarga maupun didalam kehidupan bermasyarakat dan tak jarang membawa akibat penderitaan yang berkepanjangan bagi kaum wanita, berujud perlakuan yang sewenang-wenang yang berujud fisik dan atau mental psikologis.
2. Faktor sosial ekonomi
Tingkat kehidupan perekonomian yang rendah, erat kaitannya dengan lingkungan tempat tinggal yang kumuh, pasar tradisional, kaum ekonomi lemah atau rendah. Hal-hal tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perikehidupan sehari-hari yang mudah timbulnya ledakan-ledakan emosional yang tak mudah terkendali sehingga budaya kekerasan akibat rendahnya kehidupan social ekonomi lebih banyak mewarnai pula tindak, sikap dalam kehidupan sehari-harinya (Soetrisno, 1997). Budaya kekerasan mendominir realita kehidupan sehari-hari, hingga kekuatan fisik atau jasmani, kekuatan kelompok merupakan status simbol dan status sosial dalam masyarakat tersebut dan berdampak pula terhadap pandangan, anggapan serta sikap dalam mengartikan kehadiran kaum perempuan dilingkungan tersebut.
Masyarakat yang tingkat kehidupan sosial ekonominya rendah, mobilitas (dalam artian untuk kepentingan rekreasi) sangat rendah frekuensinya, hingga realisasi mobilitas tersebut terpaku pada lingkungannya saja, hal tersebut semakin mendorong budaya kekerasan sebagai jalan keluarnya dan sasaran paling mudah adalah kaum wanita, hingga kekerasan dan pelecehan terhadap kaum wanita bukan satu hal yang aneh, bukan satu hal yang harus dihindari.
3. Faktor sosial psikologis
Faktor ini kebanyakan lebih terkonsentrir pada diri pribadi pelaku dari sisi kejiwaannya. Sebab-sebab kelainan, psikopat dan mental disorder dan hal-hal yang dialami secara kejiwaan dalam keluarga yang mempunyai kaitannya dengan lawan jenis dan terpendam, meledak keluar dan mengambil sasaran lawan jenis (perempuan) di luar lingkungan kehidupan keluarganya, baik berwujud kekerasan ataupun pelecehan yang ekstrim (sebagai misal secara demonstratif memegang-megang bagian-bagian tubuh yang terlarang dari lawan jenisnya)
4. Faktor sosiopolitik
Harus diakui bahwa kekerasan seksual tidak bisa dipahami dari faktor individual saja, karena berkaitan dengan berbagai tujuan sosial yang ada di belakang kekerasan seksual tersebut. Dalam kasus-kasus perkosaan, para pemerkosa melakukannya bukan hanya karena dorongan seksual, tetapi juga karena berkaitan dengan rasa kemarahan, kekecewaan, dan kefrustasian. Pemerkosaan juga bisa berarti tindakan politis atau suatu tindakan penghancuran etnis (Berstein dan Kean dalam Boso, 2002). Kasus pemerkosaan misal di Indonesia yang dilakukan terhadap etnis minoritas Cina pada Mei 1998 bisa menggambarkan sebagai suatu rangkaian kemarahan rakyat terhadap situasi poltis yang kacau, atau kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan poltik-ekonomi Negara terhadap kelompok etnis Cina.
Latar Belakang Terjadinya Tindak Kekerasan Seksual
Davies (dalam Wirawan, 1997) berpendapat bahwa ada beberapa latar belakang yang menimbulkan terjadinya tindak kekerasan seksual, diantaranya adalah:
1. Penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas
Tindak kekerasan seksual muncul jika seorang dewasa menyalahgunakan kekuasaannya atau otoritasnya terhadap anak atau memanfaatkan kepercayaan dan rasa hormat anak untuk melibatkannya dalam aktivitas seksual. Pelaku mungkin menggunakan muslihat, bujukan, anacaman dan bahkan kekuatan fisik untuk membuat seseorang individu terlibat dalam aktivitas seksual. Anak tidak akan memiliki kekuatan emosional maupun fisik untuk menolak tuntutan penyerangnya (pelaku). Seorang anak yang diserang, baik oleh orang asing maupun orang yang dikenalnya, cenderung akan merasa takut dan tidak berdaya (Davies, 1994).
2. Ketidaksetaraan status dan jender
Kekerasan seksual terhadap perempuan bisa berasal dari ketidaksetaraan status dan jender perempuan dewasa dan anak perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Hak istimewa laki-laki di bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi pada umumnya, memungkinkan mereka melanjutkan kontrol terhadap perempuan. Kekerasan seksual dan penyiksaan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan berakar dalam tradisi supermasi laki-laki yang mengajarkan bahwa perempuan tidak berharga, kurang layak dan bisa diperlakukan buruk atau kasar sehingga sikap negatif dan stereotip berkembang serta melembaga.
3. Toleransi terhadap kekerasan
Kekerasan seksual yang muncul dalam keluarga, seringkali ditoleransi oleh korban, keluarga serta masyarakat. Kasus kekerasan seksual yang terjadi sering tidak dilaporkan sehingga sulit dideteksi. Korban seringkali tidak dilindungi dan pelaku tidak dihukum setimpal dengan perbuatannya, sehingga kekerasan terus berlanjut.
4. Tekanan sosial
Kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan anak perempuan diperburuk oleh tekanan sosial, antara lain: (1) kurangnya akses perempuan terhadap informasi, (2) bantuan dan perlindungan hukum, (3) gagalnya hukum untuk menghambat tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, (4) gagalnya reformais hukum yang ada, (5) tidak mempunyai pihak otoritas masyarakat untuk mempromosikan kesadaran hukum dan memperkuat hukum yang ada, (6) tidak adanya pendidikan maupun cara lain untuk menangani penyebab dan konsekuensi kekerasan seksual (Mitchel dalam Wirawan, 1997).
Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual
Secara garis besar ada dua bentuk kekerasan seksual, yaitu :
1. Pelaku kekerasan mengenal si korban
Bentuk kekerasan ini dilakukan karena dendam, sakit hati atau si pelaku ingin menghilangkan saksi atas perbuatannya yang dapat membahayakan keamanannya (Moeljanto, 1982). Kekerasan seksual dalam kasus ini lebih banyak berakibat hilangnya nyawa si korban sekaligus untuk menghilangkan jejak pelaku.
2. Pelaku kekerasan tidak mengenal si korban
Kekerasan ini biasanya terdapat pada kasus-kasus seperti penjambretan, penodongan, perampokan dan juga perampokan yang disertai perkosaan. Kasus perampokan disertai perkosaan atau perkosaan merupakan kasus tersendiri, secara analisis menunjukkan kecenderungan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan dan atau upaya untuk melakukan teror mental agar korban perampokan tidak berani memberikan perlawanan.
Ancaman perkosaan sering dijadikan alat untuk menundukkan korban perampokan. Kekerasan terhadap kaum perempuan di masyarakat dimana si pelaku tidak atau belum mengenal si korban, kaum wanita yang menjadi korbannya kebanyakan dilukai dan hanya dalam situasi kondisi tertentu saja kaum perempuan yang menjadi korban dibunuh.
Tindak kekerasan seksual merupakan bentuk khusus perilaku agresi yang bersifat aktual, yang secara fisik maupun verbal menimbulkan dampak negatif termasuk merusak, menyakiti, melukai atau merugukan orang lain atau objek perilaku kekerasan seksual. Tindak kekerasan seksual bervariasi mulai dari kekerasan yang tergolong ringan, seperti ancaman verbal, hingga yang tergolong serius, seperti keinginan bunuh diri atau tindakan pembunuhan (Edleson dalam Thalib, 2002).
Berkowitz (dalam Thalib, 2002) menggolongkan agresi kedalam dua kategori utama, yaitu (1) agresi instrumental (instrumental aggression), dan (2) agresi kebencian (hostile aggression). Agresi instrumental adalah agresi untuk pencapaian tujuan, keinginan, atau harapan tertentu. Agresi kebencian adalah agresi yang bertujuan untuk menyakiti, membunuh, atau menghancurkan lawan.
Agresi juga dapat dibedakan dalam dimensi agresi impulsif (impulsive aggression) dan agresi yang dilakukan secara sadar (consciously controlled aggression). Agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan tanpa pertimbangan, sedangkan agresi yang dilakukan secara sadar adalah agresi yang telah direncanakan secara matang, secara sengaja, dan disertai dengan tujuan yang jelas (Berkowitz dalam Thalib, 2002)
Diarsi (dalam Manurung, 2002) membagi kekerasan terhadap perempuan menjadi dua bentuk yaitu; (1) kekerasan publik, dan (2) kekerasan domestik. Kekerasan publik terjadi bila pelaku kekerasan dan korban kekerasan tidak memiliki hubungan tali kekerabatan atau pertalian darah perkawinan. Termasuk di dalam kekerasan ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, dan kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Kekerasan domestik terjadi bila anatara pelaku kekerasan dengan korban kekerasan masih memiliki hubungan darah atau kekerabatan dan perkawinan. Hal yang paling menonjol dalam kekerasan domestik adalah kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri.
Dampak Psikologis Kekerasan seksual
Dampak Psikologis terhadap perempuan terbagi menjadi dua (Murniati, 1998) yaitu :
1. Dampak tak langsung
Pelecehan dan kekerasan seksual tak langsung terjadi melalui manifestasi verbal maupun tertulis, meliputi berbagai perlakuan non-fisik termasuk pemandang-rendahan, peremehan, pengucilan, pengabaian, pembedaan peran atau diskriminasi perempuan terhadap laki-laki, stereotip perempuan yang terjadi oleh ketidak-tahuan, ketidak pekaan.
Tindak kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi penghambat bagi kemajuan perempuan, serta menghalangi wanita menikmati hak asasi dan kebebasan mereka. Kekerasan terhadap perempuan juga menghambat tercapainya kesetaraan jender antara perempuan dan laki-laki. Untuk waktu yang panjang tindak kekerasan tersebut telah berlangsung di dunia ini. melalui tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, sebenarnya dunia melestarikan jender yang timpang, yaitu adanya marginalisasi-subordinasi-beban berlebih-stereotyping-perempuan (Moeljanto,1982).
Berdasarkan harkat dan martabat manusia, terjadi dehumanisasi perempuan menjadi obyek baik obyek seksual maupun obyek kebendaan yang bahkan bisa diperjual belikan. Perbedaan antara dua jenis kelamin tidak saja kodrati biologis yang secara hakiki memang berbeda dengan laki-laki, namun dalam segala aspek kehidupan manusia mengkreasi perbedaan perempuan dengan laki-laki. Termasuk didalamnya adalah kreasi sosial kedudukan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki sehingga terjadi perilaku subordinatif, pemeranan domestik, dengan deretan panjang stereotip yang dicitrakan pada perempuan.
Paling menarik adalah perilaku pengabdian perempuan yang bisa terjadi oleh karena adanya internalisasi jender. Belum berkembangnya kepekaan pada masalah perempuan yang berangkat dari idiologi jender bagi mereka yang telah sadar jender dapat pula menjadi penyebabnya. Sekilas pengabdian tidak akan menyakiti perempuan baik psikologis maupun fisiknya. Kenyataannya, bahkan dalam era pembangunan sekalipun, perempuan banyak sekali mengalami pengabdian ditempat kerja. Sepintas pengabdian adalah salah satu bentuk pelecehan yang ringan. Bila hal ini terjadi pada kebijakan, akan terjadi dampak politik yang luar biasa. Misalnya. tidak diperhitungkannya perempuan dalam kebijakan, program dan proyek pembangunan. Indonesia memang bukan satu-satunya negara dimana perempuan tak muncul dalam perencanaan sektor. Hingga akhir tahun 80-an, perempuan memang masih hilang dalam perencanaan di kawasan Asia Pasifik (Huzyer dalam Soetrisno, 1997). Dampaknya adalah tetap tertinggalnya perempuan lebih dari separoh penduduk suatu negara bahkan dunia.
2. Dampak langsung
Secara langsung dampaknya akan mengena pada perempuan itu sendiri dan atau orang lain berupa gangguan emosi (dari berat sampai ringan) dan kesakitan, kerusakan fisik sampai pada kematian. Secara langsung, bentuknya antara lain adalah;
a. Verbal, dari yang ringan semacam olok-olokan, lelucon, candaan hingga yang berat seperti penghinaan, umpatan, penistaan, rayuan maupun ajakan-ajakan yang berorientasi seksualitas.
b. Fisik, dari yang ringan yaitu colekan-colekan, cubitan, tekanan pada tubuh atau bagian tubuh, kegemasan, berbagai jenis kejahilan seksual, hingga tindak kekerasan berupa salah satu atau kombinasi lebih dari satu pemukulan fisik, penyekapan, perkosaan, pembunuhan dan berbagai jenis penghilangan jejaknya.
Dampak yang secara langsung dan gampang dicermati beban psikologis dan selanjutnya berpengaruh pisik (misalnya schizoprenia dan fisik disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidak bahagiaan, rasa terbuang karena tidak diterima oleh masyarakat, derita akibat kesakitan, cacat tubuh bahkan kematian. Korban ada yang ke dokter ketika merasa menderita sakit.
Cidera akibat tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pelaku yang intim dengan korban ternyata sama seriusnya, bahkan sering lebih gawat daripada oleh pelaku yang tidak dikenal oleh korban.
Perempuan boleh jadi juga melakukan tindak kekerasan terhadap laki-laki, namun kenyataan membuktikan bahwa kekerasan yang berakibat luka, jauh lebih banyak dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dibanding yang dilakukan oleh perempuan terhadap lawan jenisnya yaitu laki-laki. Oleh karena itu tindak kekerasan seksual terhadap perempuan sedikit demi sedikit harus dihapuskan.
Penghapusan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan membutuhkan penghapusan akar permasalahannya, yaitu idiologi jender, khususnya yang berkaitan dengan subordinasi perempuan. Karena isunya multi-faset, berbagai faktor yang turut serta berpengaruh, seperti diantaranya mekanisme pemerintah dan pembangunan, hukum, kelas, budaya, ekonomi, media masa. Setiap mata faset harus mendapatkan penanganan secara tuntas. Untuk itu berbagai pihak baik pemerintah, organisasi bukan pemerintah, pengusaha, pekerja, dan lain-lainnya yang baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dalam upaya perlindungan perlu segera mengadakan langkah-langkah secara partisipatip, dengan menggunakan studi wanita sebagai dasar keilmuan serta mengembangkan kebijakan dan operasionalisasi penelitian pelecehan dan kekerasan di masyarakat sesuai dengan metodologi yang dituntut dalam keilmuan studi perempuan.
Kaum perempuan juga sering kali mengalami tindak kekerasan seksual dalam kehidupan rumah tangganya. Kekerasan seksual ini didukung oleh anggapan masyarakat tentang mitos-mitos yang ada dalam masyarakat, misalnya dalam keluarga suami adalah pemimipin yang berhak memperlakukan istrinya sekehendak hatinya termasuk mengontrol istri. Ada juga mitos yang mengatakan bahwa tidak seorangpun berhak ikut campur dengan urusan suami istri karena hal itu adalah urusan pribadi.
Mitos-mitos ini masih sangat kental diyakini oleh masyarakat di Indonesia, sehingga tentu saja mempengaruhi sikap terhadap tindak kekerasan terutama yang terjadi dalam keluarga. Terlebih lagi persoalan ini umumnya sering dialami oleh perempuan.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk pengontrolan terhadap pasangan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah (Murniati, 1998) :
a. Budaya patriakri, budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior. Sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.
b. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama, sering kali ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin diinterpretasikan sebagai pembolehan dan menguasai istrinya.
c. Pengaruh role mode, anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dimana ayah suka memukul ataupun kasar kepada ibunya, cenderung akan meniru pola tersebut kepada pasangannya
Dampak dari tindak kekerasan seksual yang terjadi dalam keluarga ataupun dalam masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan kesan yang negatif dan memberi dampak secara psikologis berupa trauma dan ketakutan terhadap pengalaman masa lalu yang akhirnya akan berpengaruh terhadap kehidupan ataupun orientasi dimasa yang akan datang.
Masalah psikologis bisa terjadi pada perempuan yang pernah mengalami tindak kekerasan seksual, baik segera setelah peristiwa itu terjadi maupun beberapa waktu kemudian setelah korban kekerasan seksual memasuki tahap kehidupan selanjutnya. Berbagai masalah itu diantaranya: mimpi buruk, kecemasan berpisah yang tidak sesuai dengan usianya, depresi, keluhan psikosomatis, malu untuk bersekolah atau mengalami kesulitan belajar. Korban kekerasan seksual dalam berhubungan dengan orang lain akan cenderung mudah merasa ketakutan, merasa tidak aman, meragukan hubungan cinta dan kasih sayang, tidak dapat mempercayai orang lain, mengalami kesulitan untuk mempertahankan kedekatan dengan orang lain atau cenderung bersikap agresif (Haskell dalam Wirawan, 1997). Korban kekerasan seksual dapat mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri atau mengidap fobia ganda (di dalam ruangan, di luar ruangan, sendirian, dalam kerumunan, dengan orang asing maupun dalam aktivitas seksual).
Korban kekerasan seksual dapat mengalami masalah dalam identitas dirinya yaitu sensitif, tidak percaya diri, tidak menghargai diri sendiri, merasa bersalah, mempunyai pikiran dan tingkah laku yang merusak diri sendiri atau mengalami trauma psikologis berat yang berakibat pada kecenderungan membunuh diri, alkoholik, menggunakan obat-obatan serta menderita gejala somatik parah (Kelly dalam Wirawan, 1997).
Anak perempuan yang telah dipaksa mengalami kehidupan seksual yang belum waktunya oleh suatu tindakan kekerasan atau eksploitasi seksual yang positif dan berharga serta cenderung mengalami kesulitan untuk menghargai kehidupan seksualnya (Davies, 1994).
Bisa disimpulkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap perempuan secara fisik maupun psikis adalah sebagai berikut; korban kekerasan seksual akan mengalami ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidak bahagiaan, rasa terbuang karena tidak diterima oleh masyarakat, derita akibat kesakitan, cacat tubuh bahkan kematian. Dampak yang lain bisa berupa mimpi buruk, kecemasan berpisah yang tidak sesuai dengan usianya, depresi, keluhan psikosomatis, malu untuk bersekolah atau mengalami kesulitan belajar, meragukan hubungan cinta dan kasih sayang, tidak dapat mempercayai orang lain, mengalami kesulitan untuk mempertahankan kedekatan dengan orang lain atau cenderung bersikap agresif. Korban kekerasan seksual juga bisa menjadi pribadi yang sensitif, tidak percaya diri, tidak menghargai diri sendiri, merasa bersalah, mempunyai pikiran dan tingkah laku yang merusak diri sendiri, serta cenderung mengalami kesulitan untuk menghargai kehidupan seksualnya.
3 komentar:
judulnya ada yg kurang tuuuuh... hahahhaha
heehheheheh......g sadar aku..
hihi sudah saya betulkann...
terimah kasih ats koreksinya..
heheheh
:27
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63
Posting Komentar