Kapal Mavi Marmara berisi bantuan untuk penduduk Gaza diserang tentara Israel di wilayah perairan internasional, sekitar 65 km dari tepi pantai Palestina.Aksi keji ini diakui pula juru bicara militer Israel, Avital Leibovich, yang mengatakan bahwa serangan itu terjadi di perairan internasional. Dia berkata: “Ini terjadi di perairan di luar wilayah Israel, tapi kami memiliki hak untuk membela diri.”Untuk kesekian kalinya kita menyaksikan kekejaman Israel. Perilaku mereka seolah-olah tidak lagi sebagaimana umumnya manusia bermartabat.Sebagaimana diberitakan, kapal berbendera Turki itu tidak hanya berisi 10.000 ton bahan bantuan kemanusiaan, seperti obat-obatan, makanan, peralatan rumah sakit, peralatan sekolah, mainan anak-anak, peralatan pemurnian air, bahan konstruksi dan kebutuhan gizi balita.Tetapi kapal itu juga berisi lebih dari 750 orang dari 40 negara, dari berbagai profesi dan termasuk pula anggota parlemen Israel. Di antara penumpang terdapat perempuan dan anak-anak. Sejauh ini tercatat, 35 anggota parlemen dari 15 negara, 20 jurnalis dari berbagai saluran televisi, diplomat dan mantan perwira Amerika, pemenang hadiah Nobel dan lain-lain.Bahkan kapal ini pun dikawal beberapa kapal lain yang berukuran lebih kecil yang berasal dari Turki, Yunani dan Inggris.Inilah pertama kalinya sejak 3 tahun blokade Israel terhadap Gaza dicoba untuk ditembus oleh sebuah kapal yang membawa bantuan kemanusiaan.Namun semua itu tidak dapat menghentikan nafsu binatang tentara Israel untuk menyerang membabi buta terhadap para penumpang di dalam kapal. Dan setiap kali mereka melakukannya, selalu ada dalih yang dikemukakan, seperti yang dikatakan Avital Leibovich di atas. Bahkan aksi mereka lebih keji dari bajak laut.Pembenaran terhadap pembunuhan, seolah-olah semua warga Israel memiliki Surat Ijin Membunuh (Licence to Kill).Hingga tulisan ini dibuat, tercatat sekitar 19 orang syahid dan puluhan lainnya terluka dalam peristiwa keji itu. Meski belum terdapat berita seputar nasib relawan asal Indonesia yang berada di kapal tersebut.Kita hanya dapat berdoa semoga anggota tim MER-C Indonesia dan relawan lainnya mendapat lindungan Allah SWT.
Tinjauan dalam Perspektif Hukum Internasional
Ditinjau dari perspektif hukum Internasional, penyerangan Israel atas kapal kemanusiaan tersebut tidak dapat dibenarkan, bahkan jelas bertentangan dengan hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip HAM dan Kemanusiaan. Pertama, serangan dilakukan di wilayah perairan internasional. Kedua kapal sedang membawa bantuan dan mengangkut warga sipil yang tidak bersenjata. Majelis Umum PBB menyatakan bahwa pemberian bantuan internasional kepada penduduk sipil yang berada dalam peperangan sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM dan instrumen hak asasi manusia internasional lainnya.
Israel melakukan penyerangan terhadap sebuah kapal yang berada di wilayah laut lepas (perairan internasional). Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on The Law of The Sea/UNCLOS) tahun 1982, laut lepas tidak berada berada di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi negara manapun. Artinya, setiap negara dapat menikmati kebebasan-kebebasan di laut lepas, diantaranya adalah kebebasan untuk berlayar (vide pasal 87 UNCLOS). Selain itu, laut bebas dari ancaman kekerasan secara terorganisasi dengan kekuatan bersenjata ancaman tersebut dapat berupa, pembajakan perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata. dan bebas dari dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional.
Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 menegaskan bahwa kapal yang berlayar dalam wilayah laut lepas harus menunjukkan bendera negara kapal dan dengan demikian memiliki kewenangan eksklusif untuk memberlakukan hukum negara bendera kapal untuk wilayah di dalam kapal tersebut. Artinya, sebuah kapal yang berbendera suatu negara dianggap sebagai bagian wilayah territorial negara tersebut. Wilayah territorial ini akan berkaitan kedaulatan bagi negara tersebut, termasuk untuk memberlakukan hukum negara tersebut. Hal ini juga dijamin dalam Pasal 92 UNCLOS. Oleh karena itu, penyerangan terhadap kapal Mavi Marmara yang berbendera Turki tidak dapat dibenarkan dan dapat tergolong sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Turki.
Selain itu, di dalam operasinya Pasukan Israel menyerang warga sipil. Padahal, salah satu prinsip dalam hukum humaniter internasional adalah prinsip diskriminasi, yaitumembedakan sasaran militer (combatants) dan sipil (non-combatants). Penyerangan terhadap warga sipil termasuk ke dalam jenis pelanggaran berat menurut Protokol I Konvensi Jenewa 1977. Dan termasuk ke dalam kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma tahun 1998. Juga bertentangan dengan berbagai instrument HAM internasional seperti Universal Declaration of Human Right (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) yang menggariskan sebuah prinsip bahwa semua orang berhak menikmati hak asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun perang.
Kapal yang diserang oleh Israel tersebut juga mengangkut wartawan dari berbagai belahan dunia, padahal wartawan yang bertugas di wilayah pertikaian bersenjata, berada di bawah perlindungan Konvensi Jenewa 1949. Pasal 79 Protokol I Konferensi tentang Pengesahan dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional pada 1977 menyatakan bahwa wartawan yang sedang menjalankan tugas berbahaya dianggap sebagai orang sipil dan diberi perlindungan selama mereka tidak melakukan tindakan yang secara merugikan mempengaruhi status sipilnya. Di dalam kapal tersebut juga terdapat para aktivis perempuan dan petugas kesehatan yang mendapatkan perlindungan khusus menurut Konvensi Jenewa. Perlakuan khusus juga diberikan pada petugas kesehatan, baik sipil maupun keagamaan, dan terhadap transportasi peralatan dan persediaan obat-obatan.
Adalah terang bagi kita semua bahwa apa yang dilakukan oleh Israel dengan menembaki warga Sipil yang tidak bersenjata adalah sebuah kejahatan kemanusiaan sesuai dengan pasal 7 Statuta Roma. Dalam perspektif Hukum HAM Internasional, jenis kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah bagian dari jenis kejahatan-kejahatan yang paling serius dan menjadi perhatian komunitas Internasional (pasal 5 Statuta Roma).
Jika mau dirunut lebih jauh, rasanya akan ada lebih banyak lagi daftar pengaturan tentang larangan penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil. Tapi cukuplah, saya kira orang awam pun dapat menilai bahwa perbuatan Israel tersebut adalah perbuatan biadab yang bertentangan dengan akal sehat dan hati nurani. Dan Israel, dengan segala arogansi yang ia miliki, telah berhasil mempertunjukkan kepada dunia, pada kita semua, sebuah pelanggaran hebat terhadap Hak Asasi Manusia. Inilah yang kemudian membawa kita pada sebuah tragedi kemanusiaan.
Rasanya pandangan yang salah apabila penyerangan Israel, baik terhadap Kapal Mavi Marmara, maupun Agresi terhadap Palestine yang telah terjadi sekian lama, selalu dikaitkan konflik agama. Tindakan Israel melakukan blokade terhadap jalur Gaza dan penyerangan atas kapal Mavi Marmara, tidak dapat dibenarkan atas alasan apapun. Lantas menjadi hal yang sangat aneh apabila kemudian hal tersebut dikait-kaitkan dengan konflik agama tertentu. Kejadian tersebut lebih jauh lagi adalah sebuah tragedi kemanusiaan karena toh korban pun datang tidak hanya dari satu agama tertentu saja.
Sikap PBB yang tidak kunjung mengambil tindakan tegas atas perbuatan-perbuatan Israel dan Amerika Serikat yang selalu memiliki standar ganda dalam menilai sebuah kejahatan Internasional patut untuk sangat disesalkan. Sudah bukan sekali dua kali ini Israel berulah, sudah bukan sekali dua kali juga negara-negara muslim menyerukan untuk mengadili Israel sebagai penjahat perang. Namun usaha-usaha tersebut selalu kandas di tengah jalan karena Amerika selalu menjadi sekutu sekaligus pelindung utama Israel. Padahal kejahatan sudah jelas-jelas nampak di pandangan mata kita semua. Salahkah jika kita kemudian mempertanyakan, dimana keadilan? Jika kemudian kita muak pada mereka, seolah-olah dunia hanya milik mereka?
Dengan terjadinya peristiwa penyerangan tersebut, kita semua tentu berharap bahwa mata dunia akan semakin terbuka dalam menilai tindakan-tindakan Israel selama ini. Yang akhirnya dapat kita lakukan adalah mendesak pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas dalam penyikapi hal ini. Tidak dengan sekedar mengutakan keprihatinan atau kecaman, tetapi juga dengan tindakan nyata dengan mengirimkan surat resmi kepada PBB yang mendorong pada penegakan hukum internasional tanpa pandang bulu. Selain itu, gerakan rakyat damai untuk solidaritas Palestina harus terus berlanjut. Sebagai bentuk solidaritas terkecil, marilah kita semua turut berdoa semoga bangsa Palestina di sana agar segera lepas dari belenggu penjajahan Zionis Israel.
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UI, Badan Pengurus Harian Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI, dan Anggota Divisi Kajian Dept. Kastrat BEM UI.
0 komentar:
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63
Posting Komentar